ORINEWS.id – Pernyataan Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra yang menyebut bahwa Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam menentukan status kepemilikan empat pulau yang kini “dipersengketakan” antara Aceh dan Sumatera Utara, menuai kritik tajam dari Komite Peralihan Aceh (KPA).
Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Luar Negeri, Umar Hakim Ilhami, menyebut bahwa pernyataan Yusril bukan hanya keliru secara hukum dan historis, tetapi juga menyayat kembali luka lama rakyat Aceh — bahkan menabur garam di atasnya.
“Pernyataan ini tidak hanya mengabaikan fakta sejarah dan hukum yang berlaku, tetapi juga mencederai semangat perdamaian yang telah dibangun selama hampir dua dekade. Ini bukan sekadar soal empat pulau, ini soal martabat Aceh,” ujar Umar dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (15/06/2025).
Umar menegaskan bahwa tidak pernah ada konflik horizontal antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara.
Justru masyarakat pesisir Tapanuli, lanjutnya, memahami dengan baik bahwa Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang berada dalam wilayah administrasi Aceh.
“Ini bukan soal Aceh dan Sumut. Ini soal kekeliruan administratif yang dilakukan pusat. Ketika SK Mendagri mengalihkan empat pulau itu ke Sumatera Utara, itu bukan kesalahan teknis semata, melainkan pembangkangan terhadap konstitusi dan sejarah,” jelas Umar.
Menurut Umar, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 adalah dasar yang mengukuhkan Provinsi Aceh secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menyatakan UU ini tidak relevan, kata dia, berarti menolak eksistensi hukum Aceh itu sendiri.
“Jika UU yang mendirikan Provinsi Aceh dianggap usang atau tak berlaku, rakyat Aceh berhak bertanya: lantas dasar hukum apa yang sah untuk kehadiran kami di Republik ini? Apakah kehadiran kami hanya simbolis tanpa pengakuan yang utuh?” tanyanya.
MoU Helsinki: Kesepahaman Bernilai Konstitusional
Umar juga menyinggung pentingnya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Finlandia.
Menurutnya, dokumen tersebut bukan sekadar kesepakatan politik, melainkan kesepahaman internasional yang menjadi jantung dari proses perdamaian pasca-konflik Aceh.
“MoU Helsinki adalah mutual understanding — bukan contractual agreement, tapi kekuatannya tidak bisa diabaikan. Ia menjadi dasar moral dan politik dari terbentuknya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” tegasnya.
Dalam Pasal 1.1.2 MoU, disebutkan bahwa wilayah Aceh meliputi batas-batas sebagaimana Provinsi NAD yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 1956. Ketentuan ini mengikat secara politis dan telah diratifikasi melalui peraturan perundang-undangan nasional.
“Jadi ketika Menko Polhukam mengatakan Perjanjian Helsinki tidak bisa dijadikan dasar, itu sama saja menihilkan dasar perdamaian. Apa yang terjadi sekarang adalah pembangkangan terhadap semangat jus post bellum — keadilan pascakonflik,” lanjut Umar.
Sebagai wilayah yang pernah menjadi kerajaan merdeka dan memiliki kontribusi besar bagi kemerdekaan Indonesia, Umar menyebut Aceh bukan sekadar provinsi administratif.
Jika hak-hak konstitusional Aceh terus dipinggirkan, rakyat punya hak untuk mengevaluasi ulang masa depannya dalam bingkai demokrasi dan damai.
“Kami tidak menuntut kemewahan. Kami menuntut keadilan yang setara, penghormatan terhadap sejarah, dan penegakan hukum yang adil. Jika semua itu diabaikan, maka rakyat Aceh berhak mempertimbangkan pilihan-pilihan lain, termasuk referendum, sebagai bagian dari ekspresi politik yang sah,” tutupnya.
KPA Luar Negeri menyerukan agar pemerintah pusat berhenti menggoyahkan fondasi yang telah dibangun melalui darah, diplomasi, dan kesabaran panjang rakyat Aceh.
“Keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditolak. Jangan cabik-cabik perdamaian yang sudah kami rawat. Kami hanya meminta satu: jangan perlakukan Aceh seperti anak tiri sejarah,” pungkas Umar.[]