TERBARU

Opini

Hasan Tiro, Demokrasi untuk Indonesia hingga Hilangnya Empat Pulau di Aceh

*Oleh: Muhammad Zaldi

Hasan Tiro bukan hanya saksi zaman; ia adalah aktor sejarah yang membawa narasi perlawanan dari pinggiran menuju panggung global. Ia adalah anak kandung dari kontradiksi Republik Indonesia—negara yang mengklaim kemerdekaan dari kolonialisme, tetapi terus-menerus menindas identitas dan aspirasi lokal dengan wajah baru: nasionalisme seragam, demokrasi prosedural, dan ekonomi ekstraktif.

Hasan Tiro berasal dari keluarga pejuang—cucu dari Teungku Cik di Tiro Muhammad Saman, ulama-mujahid yang memimpin perang terhadap kolonialisme Belanda. Tapi berbeda dari pendahulunya yang memanggul senjata untuk mempertahankan syariat, Tiro memanggul pena untuk mendekonstruksi akar kekuasaan Indonesia yang ia sebut sebagai “penjajahan oleh nama baru.”

Dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia, Tiro mengkritik tuntas proyek nasionalisme Indonesia yang dibangun oleh elite-elite Jawa pasca-Sumpah Pemuda dan Proklamasi. Ia menyebut Indonesia sebagai “rekayasa politik yang memaksa banyak bangsa untuk menyerah pada satu ideologi yang tidak mereka pilih.”

Pandangan ini senada dengan pemikiran Frantz Fanon, yang dalam The Wretched of the Earth menulis bahwa pascakolonialisme sering kali hanyalah alih kuasa dari penjajah asing kepada elite lokal yang mengadopsi cara-cara kolonial. Dalam konteks Indonesia, pusat kekuasaan di Jakarta mengambil alih peran Batavia, tanpa menyentuh akar kolonialisme: eksploitasi atas sumber daya dan peminggiran bangsa-bangsa pinggiran.

Demokrasi Indonesia, menurut Hasan Tiro, bukanlah alat partisipasi rakyat, melainkan mekanisme dominasi elite. Demokrasi prosedural yang dijalankan pasca-Orde Baru tetap menempatkan rakyat di daerah hanya sebagai “objek pembangunan”, bukan subjek penentu arah bangsa. Sebagaimana dikatakan oleh Cornelius Castoriadis, demokrasi sejati adalah ketika rakyat tidak hanya memilih, tetapi menciptakan hukum yang mengatur mereka sendiri. Inilah yang tak dimiliki Aceh.

BACA JUGA
Hubungan Konformitas dan Stres dengan Perilaku Merokok

Bahkan setelah MoU Helsinki 2005, ketika Aceh dijanjikan otonomi khusus dan pengakuan identitas politik, realitas menunjukkan bahwa banyak pasal UUPA digugat oleh Mahkamah Konstitusi. UU Migas tetap menjadikan kekayaan Aceh sebagai komoditas nasional, bukan hak milik rakyat Aceh. Di sini, janji otonomi berubah menjadi eufemisme untuk kooptasi.

Jika Hasan Tiro berbicara tentang kedaulatan politik yang dirampas, kini kita juga harus bicara tentang kedaulatan geografis yang dikikis. Empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil—yang secara administratif, sejarah, dan budaya adalah bagian dari Aceh—telah dimasukkan secara sepihak ke dalam wilayah Sumatera Utara.

Ini bukan sekadar masalah tapal batas. Ini adalah pengingkaran atas sejarah dan identitas. Pulau bukan hanya tanah; ia adalah warisan, ingatan, dan hak kedaulatan. Ketika negara tidak mampu—atau enggan—melindungi integritas wilayah daerahnya sendiri, maka gagasan “negara kesatuan” menjadi lelucon pahit. Bagaimana mungkin Aceh yang berdaulat sebelum Republik berdiri, kini harus menerima kenyataan bahwa tanahnya sendiri dikurangi tanpa suara?

📎 Baca juga: Respon Keputusan ‘Dungu’ soal 4 Pulau, Sentral Informasi Referendum Aceh Keluarkan Sikap Tegas

Hasan Tiro memahami bahwa kedaulatan tidak dijaga oleh senjata, melainkan oleh keadilan dan pengakuan. Hilangnya pulau-pulau ini bukan hanya soal teknis, melainkan bukti bahwa pusat tak pernah serius mengakui Aceh sebagai subjek politik sejajar. Ketika wilayah bisa “dipindahkan” begitu saja tanpa musyawarah, maka republik ini tidak lebih dari sistem administrasi sentralistis, bukan federasi bangsa-bangsa yang merdeka.

  1. Berangkat dari kritik struktural tersebut, Hasan Tiro menyodorkan sebuah diagnosis dan jalan keluar yang hingga kini semakin relevan:
    Redesain UUD 1945 dengan pendekatan federatif. Seperti Amerika Serikat atau Swiss, Indonesia harus mengakui eksistensi historis, budaya, dan politik dari masing-masing “bangsa” yang membentuknya.
  2. Hak veto daerah atas kebijakan pusat. Setiap wilayah harus memiliki hak menolak kebijakan nasional yang merugikan rakyatnya. Ini adalah democratic check and balance yang absen selama ini.
  3. Pengakuan formal atas hak menentukan nasib sendiri (self-determination). Ini bukan separatisme, tapi bentuk sah kontrak sosial yang gagal dijaga.
  4. Pembentukan Dewan Nasional Bangsa-Bangsa Indonesia (DNBBI). Forum politik permanen yang berisi perwakilan dari Aceh, Papua, Maluku, Bali, dan lainnya untuk menyusun ulang dasar negara berdasarkan keadilan historis.
BACA JUGA
Negara Darurat Maling Sehingga Ajak Pelaku Berdamai?

Aceh tetap miskin meski penghasil gas. Pulau-pulaunya dicaplok diam-diam. UUPA dijinakkan, Lembaga Wali Nanggroe dipreteli, dan otonomi berubah menjadi simbol kosong. Semua ini bukan deviasi, melainkan konsekuensi dari struktur negara yang dibangun untuk mendominasi, bukan mendengar.

Sebagaimana kata Antonio Gramsci, “Krisis terjadi ketika yang lama belum mati dan yang baru belum lahir.” Indonesia hari ini berada dalam titik senyap antara dua dunia: negara tua yang gagal mendengar dan masa depan yang belum berani dirancang. Kita tidak butuh tambal sulam. Kita butuh pendirian ulang Republik—sebuah refounding yang menjadikan bangsa-bangsa di dalamnya benar-benar setara.

Hasan Tiro telah tiada, namun semangatnya hidup dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak dijawab Republik:

Apakah Aceh pernah sungguh-sungguh diterima sebagai subjek politik?
Apakah demokrasi Indonesia mampu melindungi marwah daerah yang dahulu berdaulat?

Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah “tidak,” maka bangsa ini berdiri di atas tanah yang goyah. Dan ketika pulau-pulau bisa hilang tanpa perlawanan, mungkin yang harus hilang bukan lagi pulau—tapi paradigma lama yang terus mempertahankan Jakarta sebagai pusat segala makna.

Kini saatnya kita bicara bukan tentang pemisahan, tetapi tentang pendirian ulang. Republik ini hanya akan kuat jika berdiri atas kontrak sosial baru yang disepakati setara. Jika tidak, sejarah akan menulis ulang republik ini—dari pinggiran.

Penulis adalah Alumnus Ilmu Politik UIN Ar-Raniry/Sekretaris Badan Komunikasi Strategis Demokrat Aceh

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.
Enable Notifications OK No thanks