ORINEWS.id – Dari bibir pantai Aceh Singkil, laut tampak tenang seperti biasa. Namun, di benak banyak nelayan tua yang menyisir perairan Pulau Lipan dan Panjang, gelombang itu kini membawa kecemasan. Bukan karena badai, tetapi karena keputusan pemerintah yang terasa seperti badai: empat pulau yang selama ini diyakini sebagai bagian dari Aceh kini resmi berada di bawah administrasi Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar (Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Ketek) kini masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.2.1.3-2737 Tahun 2024 yang disahkan pada April 2025.
📎 Baca juga: Empat Pulau di Aceh yang Berpindah ke Sumut Ternyata Kaya Cadangan Migas
Meski selama ini tidak banyak yang membicarakan status administratif pulau-pulau tersebut, keputusan itu langsung mengusik rasa keadilan sebagian masyarakat Aceh. Bagi mereka, ini bukan sekadar urusan koordinat atau garis batas. Ini tentang sejarah, identitas, dan rasa memiliki yang telah tertanam jauh sebelum republik ini berdiri.
Sorotan tajam pun diarahkan ke pemerintah pusat, terutama Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, yang dinilai mengabaikan sensitivitas sejarah dan politik Aceh. Di saat yang sama, isu besar mulai mencuat ke permukaan: potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) di kawasan tersebut.
Di tengah gejolak batin yang belum reda, Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sepertinya memilih jalur damai. Kedua pihak dinilai sepakat membuka peluang kerja sama pengelolaan sumber daya alam secara bersama. Langkah ini, meski dianggap pragmatis, tetap menyisakan perdebatan.
Langkah tersebut mendapat dukungan dari Menteri Tito.
“Ini langkah yang sangat positif. Kalau ada potensi sumber daya alam dan kedua pihak sepakat untuk mengelola bersama, pemerintah pusat akan mendukung penuh,” ujar Tito dalam keterangannya yang diterima media ini, Rabu (11/6/2025).
📎 Baca juga: Serahkan 4 Pulau Aceh ke Sumut, Tito Karnavian Dinilai Sedang Balas Jasa ke Jokowi
Ia juga menegaskan sejak dirinya menjabat, ratusan masalah batas wilayah telah diselesaikan secara damai. “Pemerintah pusat tidak akan menghalangi jika daerah memiliki inisiatif baik. Prinsipnya, jangan ada ego sektoral. Kalau bisa dikelola bersama, kenapa tidak?” tambahnya.
Namun, tidak semua pihak menyambut langkah ini dengan tangan terbuka. Di Aceh, reaksi keras mulai bermunculan. Salah satunya datang dari pengamat kebijakan publik, Dr. Nasrul Zaman. Menurutnya, penetapan wilayah pulau-pulau tersebut ke Sumatera Utara merupakan bentuk pengabaian terhadap semangat perdamaian Aceh pascakonflik 2005.
Ia menyebut keputusan Mendagri ini sebagai “bom waktu”.
“Selama 20 tahun, masyarakat Aceh menjaga perdamaian dengan susah payah. Tapi sekarang, keputusan mendagri ini menjadi semacam bom waktu,” ujar Nasrul kepada orinews.id di Banda Aceh, Rabu (5/6).
Nasrul menekankan bahwa keputusan tersebut bisa memicu konflik horizontal antarprovinsi dan berpotensi memperkeruh hubungan Aceh dengan pemerintah pusat. Ia mengingatkan, sejak 1992, secara historis dan administratif, pulau-pulau itu adalah bagian dari Aceh.
“Semua orang di Aceh tahu, bahkan banyak warga Sumut pun paham bahwa empat pulau tersebut secara historis dan administratif memang milik Aceh. Sejak 1992, tidak ada satu pun argumentasi dari Sumut yang menyatakan sebaliknya,” tegas Nasrul.
📎 Baca juga: Empat Pulau Aceh ‘Lepas’ ke Sumut, tapi Fakta Lapangan dan Dokumen Lama Tunjukkan Hal Ini
Ia bahkan menuding Mendagri Tito Karnavian telah “bermain di belakang Presiden” dalam membuat kebijakan yang mengabaikan kedekatan emosional Presiden Prabowo Subianto dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
“Ini sangat disayangkan. Presiden harus bersikap tegas. Ini saatnya menunjukkan rasa keadilan dan kejujuran dalam penetapan aturan pemerintah. Langkah Presiden untuk mengganti Mendagri Tito Karnavian sangat penting demi mencegah kekecewaan rakyat Aceh berkembang menjadi benih perlawanan, seperti masa konflik dahulu,” tutupnya.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri memastikan siap memfasilitasi pertemuan lanjutan jika diperlukan, demi menjaga hubungan baik antarprovinsi dan mendorong optimalisasi potensi sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
Namun, pertanyaan yang lebih besar masih menggantung di langit Aceh: apakah empat pulau itu benar-benar dilepas demi migas?
📎 Baca juga: Soroti Sengketa 4 Pulau di Singkil, Mahasiswa Aceh Tamiang: Cerminan Negara Abai Sejarah dan Keadilan
Di pesisir Singkil, masyarakat masih menganggap laut dan pulau-pulau kecil sebagai bagian dari rumah. Keputusan administratif bisa berubah, tetapi ingatan dan sejarah di hati mereka tidak bisa dipindahkan semudah itu. Sebagian masih berharap, ada ruang dialog yang lebih luas, bukan hanya untuk membagi hasil bumi, tapi juga untuk mengakui dan menghormati sejarah.
Karena bagi Aceh, perdamaian bukan hanya soal tiadanya konflik. Tapi juga soal keadilan, pengakuan, dan rasa dihargai sebagai bagian utuh dari republik ini. [red]