ORINEWS.id – Politikus PDIP, Guntur Romli, menganggap disebutnya mantan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), sudah memenuhi syarat untuk menjadi nabi oleh kader PSI, Dedy Nur Palakka, adalah pembodohan Politik.
Kendati demikian, Guntur Romli mengatakan pernyataan Dedy tersebut tidak masuk dalam penistaan agama, tetapi lebih kepada fanatisme ekstrem.
“Saya menolak adanya jeratan penistaan agama, tapi kalau itu diucapkan serius bukan bercanda, adalah bentuk fanatisme ekstrem, kultus babi buta, dan pembodohan politik,” katanya kepada Tribunnews.com, Rabu (11/6/2025).
Guntur mengatakan Jokowi lebih cocok dianggap sebagai pemimpin terkorup.
Hal ini disampaikannya terkait mantan Wali Kota Solo tersebut yang masuk dalam daftar pemimpin terkorup versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) pada tahun 2024 lalu.
“Saya juga tidak setuju Jokowi disebut Firaun tapi saya tidak setuju Jokowi disebut layak sebaagai nabi.”
“Bagi saya, Jokowi itu finalis pemimpin terkorup dan otoriter versi OCCRP,” jelasnya.
Lebih lanjut, Guntur mengatakan pemimpin itu harus mau dikritik sehingga jika terjadi adanya pengkultusan, maka bisa dipastikan pemimpin tersebut akan menjadi otoriter.
“Pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyatnya, harus siap mendengar dan dikritik.”
“Kalau dikultuskan tidak bisa menjadi pelayan lagi. Makannya saya sebut ini (Dedy menyebut Jokowi penuhi syarat menjadi nabi) adalah pembodohan politik,” tuturnya.
Sebelumnya, Dedy mencuitkan di akun X pribadinya bahwa Jokowi telah memenuhi syarat sebagai seorang nabi.
Hal ini dituliskannya pada Selasa (10/6/2025) kemarin.
“Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini (Jokowi) sudah memenuhi syarat, cuman sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa dengan senyum selalu lebar ketika bertemu dengan rakyat.”
“Sementara di dunia lain masih ada saja yang tidak siap dengan realitas bahwa tugas kenegaraan beliau sudah selesai dengan paripurna,” tulis Dedy.
Pernyataan Dedy tersebut mengundang perhatian luas warganet. Dedy bahkan dianggap berlebihan dalam memberikan pujian kepada Jokowi.
Ia lalu membuat penjelasan terkait pernyataannya tersebut.
Menurut Dedy, tidak semua penyebutan nabi berarti secara harafiah menerima wahyu dari Tuhan seperti yang dipahami dalam agama Islam atau Kristen.
Apalagi, persepsi seorang nabi harus menerima wahyu secara langsung dari Tuhan.
“Orang yang menerima wahyu dari Tuhan untuk disampaikan kepada umat manusia.”
“Namun, dalam perbincangan filsafat, sastra, dan tafsir sosial, kata nabi juga sering digunakan secara kiasan atau simbolik,” jelas Dedy.
Dedy menegaskan pernyataannya tersebut tidak salah dan tidak harus disalahkan.
“Tidak perlu banyak orang untuk mengawali pemikiran. Banyak ide besar dalam sejarah justru berangkat dari satu orang yang melihat sesuatu yang orang lain belum lihat,” ujar Dedy.
Ia menegaskan peryataannya itu hanyalah penilaian pribadi.
“Jadi, kalaupun hanya satu orang yang mengatakan Jokowi punya sifat kenabian, itu sah sebagai penilaian pribadi yang berbasis pada nilai-nilai etis, bukan klaim wahyu literal,” tandas Dedy.