*Oleh: Maulafi Alhamdi Stivani dan Dr. Marthoenis, M. Sc, MPH
Krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Dampaknya sudah dirasakan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sektor kesehatan masyarakat. Perubahan cuaca ekstrem, peningkatan suhu global, banjir, kekeringan, hingga penyebaran penyakit menular merupakan realitas yang menuntut respon cepat dan strategis dari sektor kesehatan.
Dalam konteks kesehatan masyarakat, krisis iklim telah memperburuk beban penyakit, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, hingga penyakit pernapasan menjadi lebih mudah menyebar akibat perubahan pola iklim dan degradasi lingkungan.
Peningkatan suhu global berdampak langsung terhadap kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan mereka yang hidup di daerah dengan infrastruktur kesehatan yang terbatas. Dalam banyak kasus, kelompok ini mengalami gangguan kesehatan lebih cepat dan lebih parah saat terjadi gelombang panas, kekeringan, atau bencana iklim lainnya.
Perubahan iklim juga memengaruhi ketersediaan air bersih dan ketahanan pangan. Ketika sumber air terkontaminasi atau hasil pertanian gagal panen akibat kekeringan atau banjir, maka akan terjadi peningkatan risiko malnutrisi dan penyakit berbasis air. Ini tentu menjadi tantangan besar bagi sistem kesehatan masyarakat.
Pada masyarakat Aceh menjadi contoh penting dalam melihat bagaimana komunitas yang pernah mengalami bencana besar seperti tsunami 2004 mulai memahami pentingnya kesiapsiagaan terhadap bencana dan perubahan iklim. Namun, tantangan baru kini muncul. Perubahan pola cuaca yang drastis, meningkatnya banjir di wilayah pesisir, serta ancaman terhadap sumber air bersih di wilayah pedalaman menunjukkan bahwa Aceh tidak luput dari dampak krisis iklim global.
Peran masyarakat Aceh dalam membangun ketahanan iklim perlu didukung oleh intervensi kesehatan masyarakat yang berbasis lokal. Pendekatan kultural sangat penting mengingat nilai-nilai adat dan kearifan lokal masih kuat dalam struktur sosial masyarakat. Melibatkan tokoh adat, pemuka agama, dan kelompok perempuan dalam edukasi kesehatan berbasis iklim dapat menjadi strategi efektif yang menyentuh akar komunitas. Selain itu, integrasi program kesehatan lingkungan dan adaptasi iklim dalam kebijakan pembangunan daerah Aceh harus dipercepat agar wilayah ini tidak tertinggal dalam menghadapi krisis iklim yang kian nyata.
Di tengah tantangan ini, peran kesehatan masyarakat menjadi sangat krusial. Tidak hanya dalam memberikan layanan kuratif, tetapi juga dalam menjalankan strategi adaptasi dan mitigasi yang berbasis komunitas. Peran aktif tenaga kesehatan masyarakat dibutuhkan untuk membangun ketangguhan komunitas menghadapi dampak perubahan iklim.
Strategi adaptasi dapat dilakukan melalui peningkatan sistem peringatan dini untuk bencana iklim, penguatan layanan kesehatan primer di daerah rawan bencana, serta edukasi kepada masyarakat mengenai langkah-langkah pencegahan penyakit yang berbasis lingkungan.
Mitigasi, di sisi lain, berkaitan dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong pola hidup sehat yang juga ramah lingkungan. Kampanye pengurangan penggunaan kendaraan bermotor pribadi, pengelolaan limbah rumah tangga, dan konsumsi pangan lokal yang berkelanjutan merupakan bentuk konkret kontribusi sektor kesehatan masyarakat.
Penting juga untuk membangun kebijakan kesehatan yang sensitif terhadap perubahan iklim. Ini termasuk integrasi isu iklim ke dalam rencana pembangunan kesehatan daerah dan nasional, serta penguatan kolaborasi lintas sektor, seperti dengan sektor lingkungan, pendidikan, dan pertanian.
Kementerian Kesehatan bersama pemerintah daerah perlu memastikan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan tahan terhadap bencana iklim. Bangunan rumah sakit dan puskesmas harus didesain ulang agar dapat beroperasi dalam kondisi ekstrem sekalipun, serta memiliki sistem cadangan energi dan air yang andal.
Tenaga kesehatan juga perlu dibekali dengan pelatihan terkait perubahan iklim dan dampaknya terhadap kesehatan. Pengetahuan ini penting agar mereka dapat memberikan respon cepat dan tepat saat terjadi bencana atau wabah penyakit yang dipicu oleh perubahan lingkungan.
Pendidikan kesehatan kepada masyarakat menjadi instrumen penting dalam membangun kesadaran kolektif. Masyarakat harus dibekali informasi yang mudah dipahami tentang hubungan antara krisis iklim dan kesehatan, serta bagaimana mereka dapat berperan dalam pencegahan dan adaptasi.
Pentingnya data dan riset dalam merumuskan kebijakan berbasis bukti juga tak bisa diabaikan. Lembaga riset dan universitas harus memperkuat kajian mengenai dampak iklim terhadap kesehatan di tingkat lokal dan nasional. Data ini akan menjadi dasar dalam menyusun strategi jangka panjang.
Krisis iklim juga membuka peluang kolaborasi antara sektor kesehatan masyarakat dengan organisasi masyarakat sipil dan komunitas lokal. Pendekatan berbasis komunitas sering kali lebih efektif karena memanfaatkan kearifan lokal dan membangun rasa kepemilikan terhadap solusi yang dijalankan.
Perubahan iklim menuntut transformasi sistem kesehatan menjadi lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan. Transformasi ini tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga budaya organisasi dan cara pandang terhadap kesehatan dan lingkungan.
Di tengah kompleksitas tantangan, pendekatan promotif dan preventif harus lebih diutamakan. Melalui peningkatan kualitas udara, penyediaan ruang terbuka hijau, dan penguatan gizi masyarakat, sektor kesehatan masyarakat dapat menurunkan risiko kesehatan akibat krisis iklim.
Pemerintah perlu memastikan anggaran kesehatan dialokasikan secara memadai untuk program yang berorientasi pada adaptasi iklim. Tanpa dukungan anggaran yang jelas, rencana strategis sering kali berhenti di atas kertas tanpa implementasi nyata.
Adaptasi terhadap perubahan iklim membutuhkan perubahan cara pandang seluruh elemen masyarakat. Tidak cukup hanya mengandalkan program dari pemerintah pusat atau daerah, tetapi perlu keterlibatan aktif dari individu, keluarga, dan komunitas dalam menjaga lingkungan sekaligus meningkatkan ketahanan kesehatan mereka.
Kesadaran akan krisis iklim masih perlu ditingkatkan, terutama di kalangan masyarakat umum yang belum merasakan dampaknya secara langsung. Di sinilah peran petugas kesehatan masyarakat menjadi vital sebagai agen perubahan yang mampu menjelaskan secara sederhana hubungan antara kerusakan lingkungan dan munculnya penyakit.
Selain itu, penting untuk membangun infrastruktur kesehatan yang berwawasan lingkungan. Misalnya, dengan penggunaan energi terbarukan di fasilitas kesehatan, pengelolaan limbah medis yang ramah lingkungan, dan pembangunan ruang terbuka hijau di sekitar puskesmas atau rumah sakit.
Pendidikan formal juga harus mulai memasukkan isu perubahan iklim dalam kurikulum, termasuk di bidang kesehatan. Mahasiswa kesehatan masyarakat perlu memahami bahwa tantangan kesehatan ke depan tak hanya berasal dari penyakit infeksi atau tidak menular, tetapi juga dari kerusakan ekosistem dan perubahan pola iklim.
Krisis iklim adalah ujian bagi solidaritas sosial. Dalam menghadapi ancaman ini, tidak cukup hanya mengandalkan tindakan individu. Dibutuhkan solidaritas lintas sektor, lintas generasi, dan lintas wilayah untuk menciptakan sistem kesehatan masyarakat yang tangguh dan adil.
Generasi muda harus dilibatkan secara aktif dalam gerakan ini. Mereka adalah kelompok yang akan paling terdampak di masa depan, dan sekaligus memiliki energi besar untuk mendorong perubahan sosial dan kebijakan.
Kesadaran akan peran kesehatan masyarakat dalam krisis iklim harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kesehatan. Dengan demikian, calon tenaga kesehatan sejak dini memahami keterkaitan antara kesehatan dan keberlanjutan lingkungan.
Menjawab tantangan krisis iklim bukanlah pilihan, melainkan keharusan moral dan profesional bagi seluruh pemangku kepentingan kesehatan masyarakat. Tanpa langkah nyata, risiko krisis kemanusiaan akibat dampak iklim hanya tinggal menunggu waktu.
Dengan komitmen bersama, kolaborasi multisektor, serta keberpihakan pada kelompok rentan, kesehatan masyarakat Indonesia dapat menjadi garda terdepan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Saatnya bergerak bukan hanya untuk menyelamatkan bumi, tetapi juga generasi yang akan datang. []
Penulis merupakan Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Syiah Kuala Banda Aceh