ORINEWS.id – Ketua BEM KM UGM, Tiyo Ardianto memberikan keterangan pers pasca pihaknya menyatakan keluar dari Aliansi BEM Seluruh Indonesia Kerakyatan pasca Musyawarah Nasional XVIII di Padang, Sumatera Barat.
Dalam keterangan resminya, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa keberadaan mereka di BEM SI Kerakyatan murni sebagai ruang ekspresi perjuangan Mahasiswa tanpa ambisi kekuasaan apa pun.
“Sejak awal, BEM KM UGM tidak memiliki ambisi atas segala kontestasi untuk menjadi suatu apa pun dalam struktur kepengurusan BEM SI. Cukuplah bagi BEM KM UGM berperan menjadi bagian yang meletakkan pondasi pada masa awal kelahiran BEM SI tahun 2007 dan selanjutnya membersamai,” tulis keterangan pers Tiyo yang diunggah oleh BEM KM UGM di akun Instagram resmi mereka seperti dikutip Holopis.com, Selasa (22/7/2025).
Namun dalam forum Musyawarah Nasional (Minas) ke 18 di Padang, mereka memandang bahwa forum aliansi BEM SI Kerakyatan sudah tidak sesuai dengan apa yang dipandangnya selama ini. Bahwa sudah ada campur tangan kekuasaan masuk ke dalam ruang Mahasiswa yang dinilainya dapat mempengaruhi independensi gerakan tersebut.
“Kehadiran orang-orang yang merupakan simbol kekuasaan seperti Ketua Umum Partai Perindo, Menteri Pemuda dan Olahraga, Wakil Gubernur Sumatera Barat, dan Kepolda serta Kepala BIN Daerah Sumatera Barat, bagi kami mencederai independensi gerakan,” tuturnya.
Keberadaan para pejabat publik hingga Badan Intelijen Negara dalam forum BEM SI tersebut menurut Tiyo sudah menjadi bukti bahwa agenda BEM SI Kerakyatan sudah bukan murni lagi menjadi gerakan Mahasiswa yang independen. Apalagi menurutnya, kehadiran para pejabat tersebut tentu ada nilai benefit yang didapat oleh para pengurus dan panitia Munas XVIII BEM SI di Padang tersebut.
“Mungkinkah mereka masuk ke forum murni diundang, atau karena ada tiket masuk yang telah mereka dapatkan ?,” ujarnya.
Bagi Tiyo, BEM SI dengan penguasa harus memiliki garis batas yang sangat jelas. Sehingga dengan masuknya para pejabat negara, pimpinan partai Politik, hingga intelijen negara ke dalam forum resmi Mahasiswa tersebut, artinya kepengurusan BEM SI sedang tidak memberikan contoh yang baik kepada para penerusnya.
“Kami melihat dengan jelas sebuah karangan bunga yang datang pagi hari, disembunyikan, lalu dimunculkan kembali ketika momen pembukaan (saat para elit politik dan aparat itu datang), sebuah karangan bunga dari Kepala BIN Daerah Sumatera Barat,” papar Tiyo.
“Sebenarnya, kemesraan apa yang terjalin antara BEM SI dan BIN sehingga hadir karangan bunga?,” sambungnya.
Oleh sebab itulah, BEM KM UGM menyatakan bahwa mereka lebih baik melepaskan diri dari Aliansi BEM SI Kerakyatan yang dinilainya telah dijual-belikan untuk kepentingan tertentu. Situasi BEM SI saat ini dianggap Tiyo sedang tidak baik-baik saja dan rentan tidak lagi independen dalam melakukan gerakan pembelaan pada kepentingan rakyat.
“BEM KM UGM memegang teguh nilai dan marwah gerakan. Kami memilih jalan sunyi tapi bercahaya, setia bersama rakyat Indonesia. BEM KM UGM Not for sale,” pungkas Tiyo.