TERBARU

NasionalNews

Jokowi Runtuh Perlahan

   

OLEH: JUJU PURWANTORO*

WAJAH Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi yang selama ini dipoles citra bersahaja, tiba-tiba tampak “membengkak”, seakan rembulan purnama yang terlalu dekat bumi. 

Para dokter mengenal rupa ini sebagai moonface. Di pipi tampak bercak-bercak pucat, laksana rembesan kapur di dinding tembok tua.

Masyarakat awam bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi pada raga bekas orang nomor satu republik ini.

Polemik ijazah palsu, benar atau tidak, sudah menjelma menjadi  “lubang galian baru di pondasi legitimasi”. Persis di saat itulah, tubuh sang mantan pemimpin berubah, seolah kosmetik retak persis pada menit keserentakan publik.

Lakon “Petruk Dadi Ratu” mengisahkan punakawan badut yang, lewat jebakan dewa, mendadak bertakhta. Mahkota emas membuat badannya membesar, suaranya parau, hidungnya memanjang: tanda bahwa “raga menolak peran yang tak serasi”. Pada klimaks lakon, Petruk menjerit: “Mahkota iki abot, Sang Hyang” (Mahkota ini terlampau berat). 

Petruk mengembalikan singgasana, lantas tubuhnya susut, suaranya kembali lembut. Ki Dalang lantas menyanyikan sulukan: “Yang mau mengaku salah, justru akan naik derajatnya”. Kekuasaan sebesar apa pun akhirnya luluh jika menolak terang keterbukaan.

Jika polemik ijazah palsu terbukti hoaks, maka moonface tetap menjadi catatan: “bagaimana rumor sanggup mengguncang raga”. Jika terbukti benar, maka moonface menjadi penanda: “bagaimana dusta struktural akhirnya meminta pajak kesehatan”.

“Baluwarti agung ora kari tunggal watu,”: sebab sebuah tembok besar jarang roboh karena tembakan meriam; “ia runtuh pelan-pelan oleh retakan kecil yang diabaikan”. Kadang-kadang, retakan itu bermula “di pipi yang mengembung dan bercak yang memucat”.

Kaitan drama wayang tersebut tentang kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, unsur terpenting adalah para pihak yang terlibat dalam “lingkaran setan” kasus itu. Para penyerta tindak pidana, sesuai rumusan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP tidak mungkin dapat berdiri sendiri. 

Unsur tindak pidana kejahatan sesuai pasal tersebut, adalah orang yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doenplegen), dan turut serta melakukan (medepleger).

Pleger, pelaku adalah orang yang melakukan delik pidana kejahatan sendiri dan paling bertanggung jawab atas perbuatannya.

Doenplegen, melakukan tindak pidana tetapi dia tidak melakukannya sendiri, melainkan menyuruh orang lain dengan catatan yang disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan.

Medepleger, Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), adalah orang yang secara sengaja atau secara sadar turut serta berbuat atau mengerjakan suatu kejahatan atau perbuatan yang dilarang undang-undang.

Pemalsuan ijazah dapat dimasukkan sebagai bagian dari tindak pidana pemalsuan surat, sesuai pengertian ijazah dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Pasal 42 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyatakan Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak, dilarang memberikan ijazah.

Kemudian Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi menyatakan Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6), (7), dan Pasal 42 ayat (4) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda Rp1 miliar.

Demikian pula keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)  No.118/PUU-XX/2022, menjelaskan bahwa kriteria pemalsuan surat yang dimaksudkan harus ternyata:

1) Pada waktu memalsukan surat harus dimaksud menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan; 

2) Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian; 

3)Tidak hanya untuk yang memalsukan, tetapi yang dihukum juga yang sengaja menggunakan surat palsu, yaitu orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu maka ia tidak dihukum; 

4) Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat di mana surat tersebut diperlukan;

5) Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.

Dari uraian di atas, Jokowi dan kroninya patut diduga keras, melanggar hukum karena menggunakan ijazah palsu tersebut.

Oleh karenanya para pihak yang terkait kasus tersebut, apakah yang disebut Geng Solo (antara lain Widodo dkk), Geng Jakarta (antara lain Denny Iskandar, dkk), aktivis PDIP (Beathor Suryadi), mantan Wamendes Paiman Rahardjo Dwidjonegoro dan pihak rektorat UGM, kesemuanya juga harus ikut diperiksa Mabes Polri dan Polda Metro Jaya.

Pemeriksaan polisi yang hanya ditargetkan kepada aktivis Tim Pembela Ulama dan Aktifis (TPUA) dan Roy Suryo, Rismon Sianipar dkk tidaklah memenuhi azas hukum dan keadilan masyarakat.

Tuduhan tersebut tendensius, karena mendasarkan Pasal 310, 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah, juga Pasal 27A, Pasal 32, dan Pasal 35 UU ITE tentang PMH melalui sarana transaksi elektronik. 

Perbuatan mereka adalah sesuai azas “facta sunt potentiora verbis”, tidak hanya kata-kata saja, tetapi juga berdasarkan bukti dan tindakan nyata demi mendukung kebenaran. 

Mereka adalah para peneliti (intelektual) dan advokat, sesuai Pasal 310 ayat (3) KUHP ; “Pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan tidak berlaku jika perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.

*(Penulis adalah Anggota Tim Kuasa Penggugat Ijazah Palsu Jokowi)

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.