ORINEWS.id – Sengketa wilayah kembali mencuat di wilayah barat Indonesia. Empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar (Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Ketek)—yang selama ini dikenal sebagai bagian dari Provinsi Aceh, kini diklaim sebagai wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Keputusan tersebut sontak menuai gelombang penolakan dari masyarakat Aceh, khususnya warga Aceh Singkil, yang selama puluhan tahun menggantungkan hidup dan identitas budaya mereka pada empat pulau tersebut. Pulau-pulau itu bukan sekadar gugusan titik di peta, melainkan sumber mata pencaharian, tempat tinggal musiman nelayan, serta warisan sejarah dan budaya Aceh yang telah terawat sejak lama.
Padahal, secara historis dan administratif, keempat pulau ini telah diakui sebagai bagian dari wilayah Aceh. Salah satu buktinya adalah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yang ditandatangani pada tahun 1992, yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut berada di bawah yurisdiksi Aceh. Selama ini tidak pernah terjadi konflik administratif atau sengketa wilayah yang serius di kawasan itu.
Namun, kekeliruan dalam pencatatan koordinat pada dokumen pemerintah pusat tahun 2009 menjadi akar permasalahan. Kesalahan teknis tersebut memasukkan wilayah keempat pulau itu ke dalam peta administratif Sumatera Utara. Sayangnya, alih-alih dikoreksi, kekeliruan itu justru dipertegas kembali melalui keputusan terbaru tahun 2025 tanpa melalui kajian historis, konsultasi publik, maupun partisipasi masyarakat lokal.
Situasi ini mendapat perhatian serius dari kalangan mahasiswa. Salah satunya M. Zahidi Ar Rizva, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) asal Aceh Tamiang, yang menyampaikan keprihatinannya.
“Sengketa ini bukan hanya tentang garis batas administratif, tetapi menyangkut harga diri, sejarah, dan hak hidup masyarakat Aceh. Jika negara tetap mengabaikan persoalan ini, maka artinya negara tidak berpihak pada kebenaran sejarah dan keadilan wilayah,” tegas Zahidi.
Ia mendesak agar Pemerintah Aceh tidak tinggal diam. Baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil harus segera menempuh langkah hukum dan diplomatik secara konstitusional untuk menuntut kejelasan status keempat pulau tersebut.
“Langkah konkret harus segera diambil. Jika tidak, maka masyarakat Aceh kembali menjadi korban atas kekeliruan administratif yang sebenarnya bisa diperbaiki. Ini soal keberanian kita membela kebenaran dan kedaulatan wilayah,” tambahnya.
Zahidi juga menyerukan kepada seluruh anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh untuk bersuara lantang dalam membela hak-hak masyarakat pesisir.
“Kami menuntut para wakil rakyat Aceh di Senayan untuk tidak diam. Ini adalah ujian nyata apakah mereka benar-benar memperjuangkan konstituen mereka atau hanya diam di tengah persoalan yang sangat prinsipil,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa mahasiswa memiliki peran penting sebagai agen perubahan. Diam bukan pilihan.
“Kami mahasiswa Aceh akan terus bersuara dan mengawal isu ini agar tidak hilang ditelan birokrasi. Empat pulau ini simbol dari sejarah dan kehormatan masyarakat Aceh. Negara harus hadir untuk menghormati itu, bukan malah menghapusnya dengan satu keputusan sepihak,” pungkasnya.[]