ORINEWS.id – Dua pakar hukum menyoroti kejanggalan dalam kematian Diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Arya Daru Pangayunan (39).
Meski polisi sudah menyimpulkan kematian Arya Daru Pangayunan tidak melibatkan pihak lain, namun masih terdapat sejumlah kejanggalan.
Sebelum ditemukan tewas terlilit lakban di kamar indekosnya, Arya Daru terekam CCTV berada di lantai 12 Gedung Kemlu selama 1 jam 26 menit.
Arya Daru naik ke rooftop sekitar pukul 21.43 WIB.
Ia terlihat membawa tas gendong dan tas belanja, namun saat turun pada pukul 23.09 WIB, kedua tas tersebut sudah tidak ada.
Sementara itu berdasarkan rekaman CCTV di kosan, sekitar pukul 22.00 WIB, Arya Daru terlihat menyapa penjaga kos sebelum masuk ke kamar.
“Jadi korban sempat terlihat di area dapur untuk makan, mungkin habis ngegojek (pesan dari Gojek) kali ya. Dia juga sempat membuang sampah dan menyapa penjaga kosan yang berada di belakang. ‘ayo mas’, gitu aja. Itu terlihat dari rekaman CCTV,” kata Kapolsek Metro Menteng, Kompol Rezha Rahandhi, Rabu (9/7/2025) silam.
Setelah itu, Arya Daru diketahui kembali masuk ke kamarnya dan tak terlihat lagi.
“Iya, kamarnya dalam keadaan digrendel dari dalam. Jadi setelah terlihat sekitar pukul 22.30 WIB malam itu, tidak ada lagi yang melihat korban,” ujarnya.
Pakar hukum, Nicholay Aprilindo lalu menganggap tak mungkin, Arya Daru bisa berada di dua tempat berbeda dalam waktu yang sama.
“Jam 9 malam dia telepon istrinya, katanya sedang menunggu taksi mau pulang,” ucap Nicholay Aprilindo dikutip dari HotRoom Metro TV, Kamis (31/7/2025).
“Lalu dia pergi, 21.43 dia ada di rooftop Kemlu sampai 23.09. Tapi 22.15 penjaga kos bernama Siswanto bertemu dengan almarhum dan menyapa di kos,”
“Padahal almarhum baru pulang 23.09, darimana dalam dua peristiwa ada satu orang,” imbuhnya.
Hal senada diungkap Dosen Universitas Trisakti, Aura Akhman di akun Threadnya.
“Ini waktunya tumpang tindih, Arya tidak mungkin berada di dua tempat sekaligus,” kata Aura Akhman.
Aura Akhman menyebut fenomena tersebut, dikatakan sebagai anomali spasiotemporal.
“Ada yang salah dengan narasi waktu,” ujar Aura Akhman.
“Dalam investigasi profesional, ini disebut anomali spasiotemporal,” imbuhnya.
Aura Akhman menyakini ada yang keliru antara CCTV di rooftop dan kesaksian penjaga kos, Arya Daru.
“Yaitu saat dua sumber data (visual dan saksi) bertabrakan di titik waktu yang sama,” kata Aura Akhman
“Salah satu pasti ada yang keliru atau ada yang sengaja dibuat salah,” imbuhnya.
Terlalu dini menyimpulkan
Nicholay mengatakan kematian Arya Daru tidak wajar dan pernyataan yang diumumkan dari Dirreskrimum Polda Metro Jaya juga terlalu prematur.
Bahkan, Nicholay menyebut bahwa kematian Arya Daru dilakukan oleh pelaku yang profesional.
Ia awalnya menyoroti penjelasan dari ahli forensik, dokter dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Yoga Tohijiwa.
Yoga mengatakan bahwa penyebab kematian dari korban disebabkan gangguan pertukaran oksigen pada saluran nafas atas yang menyebabkan mati lemas.
Menurut Nicholay, keadaan mati lemas yang dialami Arya Daru dinilainya janggal.
“Keterangan dari ahli forensik dari Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, itu jelas dikatakan bahwa penyebab kematian dari korban itu gangguan pertukaran oksigen pada saluran nafas atas yang menyebabkan mati lemas, berarti ada suatu kejadian,” jelasnya saat dikutip dari SindoNews yang tayang pada Selasa (29/7/2025) beberapa jam setelah konferensi pers.
Nicholay juga menilai kematian Arya Daru bukan karena bunuh diri atau meninggal secara wajar.
Pasalnya, ia melihat ditemukan sejumlah luka dan memar pada tubuh korban.
Selain itu, ditemukan kekerasan benda tumpul dan tidak ditemukan penyakit pada organ tubuh Arya Daru.
“Berarti, kalau kita merunut dari hasil forensik, dari ahli forensik RSCM tadi, ini berarti ada kejanggalan bahwa ini adalah masuk kasus pembunuhan bukan kasus bunuh diri atau bukan kasus meninggal secara wajar,” katanya.
Kejahatan profesional
Kendati polisi menyebut bahwa kematian Arya Daru tidak ada unsur pidana, namun tidak bagi Nicholay.
Ia meyakini bahwa Arya Daru tewas karena dibunuh.
“Ini kejahatan yang profesional, yang agak sempurna, tapi tidak sempurna. Jadi seolah-olah diciptakan ADP bunuh diri dan dengan cara atau modusnya ADP disuruh melakban wajahnya sendiri sehingga sidik jari hanya ditemukan sidik jari dia,” katanya.
Ia melanjutkan pelaku di balik pembunuhan itu terbilang sudah berpengalaman sehingga tidak meninggalkan jejak sidik jari di lokasi.
“Dalam bidang penyidikan seperti ini, ya dalam kasus-kasus kekerasan dan pembunuhan, pelaku tidak bisa atau tidak mau meninggalkan jejak sidik jari apapun dengan memakai sarung tangan atau memakai sesuatu yang menyebabkan sidik jarinya tergambar di tempat mana atau di barang mana yang dia pakai,” pungkasnya.