*Oleh: Ahmadie Thaha
Kalau hidup ini ibarat sinetron, maka kisah pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek sudah masuk episode klimaks. Tinggal tunggu siapa yang masuk ruang tahanan dengan jaket oranye, dan siapa yang mendadak naik kasta jadi “saksi ahli”, karena kebal jaringan.
Yang bikin penasaran bukan cuma jalan ceritanya, tapi juga tokoh utamanya: Mas Menteri dari Silicon Valley, Nadiem Makarim. Dulu ia datang membawa semangat startup, sekarang sedang startup juga. Bedanya, bukan di hadapan investor, tapi penyidik.
Pertanyaannya: kapan giliran Nadiem ditetapkan sebagai tersangka? Jawabannya? Mungkin sebentar lagi. Mungkin masuk. Mungkin tidak. Anda boleh menilai sendiri berdasarkan fakta berikut.
Alkisah bermula Agustus 2019. Sebulan sebelum Nadiem resmi dilantik sebagai Menteri Pendidikan, sebuah grup WhatsApp eksklusif lahir: “Mas Menteri Core Team.” Isinya bukan alumni Hogwarts, tapi nama-nama karib seperti Jurist Tan dan Fiona Handayani.
Mereka bukan sekadar tim bayangan, tapi tampaknya tim perencana yang sudah menyiapkan skenario besar pengadaan perangkat pendidikan berbasis ChromeOS.
Semua itu dilakukan bahkan sebelum Nadiem dilantik. Sebelum ada SK. Sebelum APBN diketuk di Senayan. Sebelum rakyat tahu apa itu Chromebook, dan sebagian masih belum tahu sampai hari ini.
Apakah ini bukti visi jauh ke depan? Atau perencanaan kelewat dini? Dalam hukum, niat jahat juga bisa direncanakan. Dan begitu Nadiem resmi menjabat, niat itu mulai diformalkan dalam rapat-rapat, lengkap dengan anggaran yang fantastis.
Menurut Kejagung, awalnya tim teknis Kemendikbudristek lebih menyarankan laptop berbasis Windows. Tapi, setelah beberapa kali Zoom Meeting, yang dipimpin bukan oleh pejabat resmi, melainkan staf khusus, kajian pun mendadak berubah. Tiba-tiba, Chromebook jadi bintang utama.
Padahal, kata rakyat di daerah: “Kita ini bukan di California, Mas. Internet di kampung saja masih putus nyambung kalau hujan.” Dan Chromebook, seperti kita tahu, baru menyala dengan baik kalau ada koneksi internet yang stabil.
Tapi keputusan sudah diketok. Mas Menteri menetapkan arah. Anggaran Rp9,3 triliun digelontorkan. Hasil akhirnya? 1,2 juta unit laptop Chromebook disebar ke sekolah-sekolah. Namun karena kendala konektivitas, banyak dari perangkat itu justru mubazir, jadi hiasan lemari sekolah, bukan alat belajar.
Siapa yang bertanggung jawab? Jurist Tan sudah jadi tersangka. Ibrahim Arief, yang disebut sebagai konsultan teknologi, juga. Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah, dua pejabat struktural, sudah ditahan. Fiona? Masih di luar negeri.
Sementara Mas Menteri, masih tersenyum di depan kamera, didampingi pengacara, dengan pernyataan andalan, “Menunggu proses hukum.”
Yang paling gurih dari drama ini adalah dugaan konflik kepentingan antara kebijakan pengadaan 1,2 juta laptop Chromebook dan investasi Google di Gojek, perusahaan yang didirikan Nadiem sebelum menjabat.
Faktanya, pada Februari hingga April 2020, Nadiem bertemu pihak Google. Setelah itu, proyek Chromebook langsung digeber. Google diuntungkan. Gojek pernah dapat investasi Google. Kebijakan ini pakai uang negara.
Ini bukan startup. Ini start skandal.
Yang paling getir, kasus ini terjadi di Kementerian Pendidikan. Lembaga yang seharusnya mengajarkan integritas, justru jadi ladang praktik nepotisme, pengkondisian, dan konflik kepentingan.
Bayangkan, anak-anak diajarkan “berpikir kritis” dari buku PKN. Tapi laptop yang mereka pakai hasil “kajian kritis” yang diduga dikondisikan. Anak-anak belajar “etika digital,” sementara proses pengadaan peralatannya diduga penuh manipulasi.
Ironi ini setipis skripsi mahasiswa hukum, kalau tak mau disebut sebagai tesis korupsi berjemaah.
Penyidik Kejagung bilang bahwa untuk menetapkan tersangka, perlu dua alat bukti. Tapi empat orang sudah ditahan. Satu negara sedang menunggu apakah hukum akan naik kelas, atau tetap tinggal kelas seperti murid-murid yang gagal UNBK karena Chromebook-nya ngadat?
Kalimat sakti pun muncul, “Menetapkan tersangka itu perlu kehati-hatian.” Tapi publik tak sabar. Karena kalau terlalu hati-hati, bisa-bisa keadilan jadi kehilangan keberanian.
Nadiem Makarim mungkin belum tersangka. Tapi arah angin sudah jelas. Empat anak buahnya sudah terjerat. Proses rapatnya terekam. Keputusannya menabrak kajian awal. Negara rugi hampir Rp2 triliun.
Pertanyaannya tinggal satu yakni akankah hukum naik hingga ke puncak struktur? Atau kita akan lihat Nadiem kembali tampil di TED Talk, sambil bercerita tentang “inovasi pendidikan yang inklusif dan humanis”?
Kalau benar-benar ingin inklusif, maka hukum jangan berhenti di level konsultan dan staf khusus. Rakyat berharap bahwa itu harus sampai ke Mas Menteri, kalau memang masalahnya ada di Menteri, sekuat apa pun koneksi politiknya ke orang nomor satu di negeri ini.
Kita tunggu saja. Kalau perlu sambil nyeduh kopi. Drama ini belum tamat. Tapi aktingnya sudah mulai kentara: siapa bintang utama, siapa figuran.
Semoga saja ini tidak berakhir seperti nasib laptopnya yaitu mati sebelum sempat dipakai.