TERBARU

Kolom

Sedang Mengingat Bahwa Aceh Pernah Merdeka

*Oleh: Faisal Ramadhan Bitay

“Akal adalah martabat, dan ingatan adalah senjata.”

Dalam sejarah kolonialisme, penindasan tidak semata berlangsung secara fisik, tetapi juga secara mental dan historis. Salah satu bentuk penjajahan terbesar yang masih terus terjadi adalah upaya penghapusan memori kolektif suatu bangsa atas jati dirinya sendiri—semua dibungkus rapi dalam jargon “persatuan dan kesatuan”.

Bangsa yang lupa sejarahnya akan mudah diarahkan, dikendalikan, bahkan diperintah untuk melawan kepentingannya sendiri. Dalam konteks ini, kondisi Aceh saat ini menjadi contoh konkret. Aceh, yang dulunya merupakan sebuah negara merdeka dengan struktur politik dan militer berbasis nilai-nilai Islam dan pluralitas, kini hidup sebagai provinsi dalam Republik Indonesia—dan sedang mengalami pemutusan identitas sejarah serta kemerosotan martabat.

Dalam sistem kekuasaan modern, khususnya di institusi militer, kepatuhan buta terhadap perintah seringkali dijadikan ukuran kehormatan. Padahal secara filosofis dan ilmiah, manusia yang hanya tunduk tanpa berpikir, tanpa menimbang, tanpa menggunakan nurani, telah kehilangan esensinya sebagai manusia—ia hanya menjadi alat.

Akal dan nurani adalah inti dari martabat manusia. Ketika keduanya hilang, maka manusia kehilangan eksistensinya dan hanya menjadi benda yang dapat difungsikan. Ketika seseorang rela menjadi alat kekuasaan yang menindas, ia telah keluar dari wilayah etika dan masuk ke ranah fungsionalitas semata.

Inilah yang terjadi dalam banyak struktur militer modern, termasuk di Indonesia. Para anggota militer dididik untuk tidak bertanya, hanya patuh—meski perintah yang diterima berujung pada penderitaan rakyat. Maka, ketika ada individu yang mencoba menolak kepatuhan buta tersebut, itu bukanlah bentuk pelanggaran disiplin, melainkan upaya mengembalikan fungsi akal dan nurani ke dalam sistem militer.

Dahulu, militer Kesultanan Aceh Darussalam berdiri sebagai penjaga umat dan penegak keadilan. Mereka tidak bergerak atas dasar dendam atau perintah tanpa akal, tetapi dilandasi oleh tanggung jawab moral terhadap rakyat dan agamanya.

Namun, penjajahan, pengkhianatan, dan luka perang telah menimbulkan krisis identitas dan inferioritas mental di kalangan rakyat Aceh. Ketika kekerasan bersenjata dijadikan alat untuk membungkam aspirasi keadilan, dan ketika rakyat disiksa serta dibantai oleh negara, hasil akhirnya adalah ketakutan dan ketundukan mental.

Kini, generasi Aceh semakin kehilangan kesadaran politiknya. Mereka lupa bahwa Kesultanan Aceh mampu bertahan selama 407 tahun (1496–1903)—sebuah capaian yang jauh lebih panjang dari usia Republik Indonesia yang saat ini baru memasuki usia ke-80 tahun (sejak 1945). Fakta sejarah ini bukan untuk disombongkan, tetapi menjadi pengingat bahwa mental inferior yang ditanamkan melalui narasi nasional harus ditolak.

Beberapa pejabat Indonesia, seperti Ryamizard Ryacudu saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, bahkan terang-terangan mencibir wacana referendum Aceh, seakan menyampaikan ancaman kepada siapa pun yang berani membicarakannya. Namun di balik ancaman itu, ada kegelisahan tersembunyi—kekhawatiran bahwa Aceh masih ingat siapa dirinya.

Aceh dulu pernah menjalin hubungan diplomatik internasional, termasuk dengan Inggris dan Amerika Serikat. Ini adalah bukti pengakuan terhadap kedaulatan dan kekuatannya, khususnya sebagai penjaga Selat Malaka.

📎 Baca juga: Habib Rizieq Kritik Dedi Mulyadi Ganti Nama RSUD Al Ihsan: Enggak Usah Alergi dengan Bahasa Arab

Oleh karena itu, sangat ironis jika generasi Aceh saat ini merasa rendah diri di hadapan negara yang jauh lebih muda dari negaranya sendiri dahulu. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah sendiri.

Salah satu langkah strategis untuk memulihkan martabat Aceh adalah pembangunan Replika Ma’had Bait Al Maqdish, Akademi Militer Kesultanan Aceh Darussalam. Bangunan ini tidak hanya menjadi objek wisata sejarah, tetapi juga simbol pemulihan identitas dan nilai-nilai luhur militer Aceh yang berbasis pada akal, agama, dan kemanusiaan.

Dari akademi seperti inilah dulu lahir para laksamana, panglima, dan diplomat Aceh yang beradab—bukan alat kekuasaan, tetapi pelindung rakyat dan penjaga nilai-nilai moral. Akademi ini adalah bukti bahwa militer tidak harus brutal, dan kekuatan tidak harus menumpulkan akal.

Jika dibangun secara serius, ilmiah, dan terintegrasi, replika ini dapat menjadi pusat pendidikan sejarah, destinasi wisata intelektual, dan simbol pemulihan harga diri rakyat Aceh. Ia dapat membangkitkan kembali kesadaran generasi muda untuk berpikir, mempertanyakan, dan bertindak dengan martabat.

Penjajahan hari ini tak selalu datang dengan senjata. Ia bisa hadir dalam bentuk anggaran yang mengikat dan narasi yang mematikan daya kritis. Aceh hanya bisa membangun jika mendapat dana dari pemerintah pusat—yang tentu dibatasi dengan alasan pemerataan nasional. Namun, dalam waktu yang sama, sumber daya Aceh terus dikuras, dan hanya sedikit generasi muda yang sadar bahwa mereka sedang dijajah dengan cara yang lebih halus dan sistematis.

Membangun Replika Akademi Militer Kesultanan Aceh adalah bentuk perlawanan intelektual, sekaligus pernyataan bahwa Aceh belum lupa jati dirinya. Bahwa Aceh bukan sekadar provinsi yang bisa dibujuk oleh nasionalisme palsu atau dibungkam oleh ancaman dari pejabat yang hidup dari pajak rakyat tapi gagal menghadirkan kesejahteraan—di mana Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera.

Dan seperti biasa, hanya segelintir yang berani bersuara. Sisanya memilih diam karena ketakutan. Padahal, yang seharusnya ditakuti adalah ketidakmampuan menyampaikan kebenaran di tengah kezaliman dan pembungkaman sejarah.

Ketakutan kepada sesama makhluk adalah bentuk dari kedangkalan tauhid. Maka, menyampaikan kebenaran, seperti opini ini, adalah ibadah sekaligus perjuangan.

Kelak, jika Replika Akademi Militer Kesultanan Aceh benar-benar berdiri di tanah ini, semoga ia menjadi titik tolak lahirnya generasi Aceh baru: generasi yang sadar, berani, dan beradab seperti leluhurnya—yang membangun Negara Aceh Darussalam dari keragaman dan ditegakkan dengan hukum yang adil. []

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.
Enable Notifications OK No thanks