ORINEWS.id – Iran untuk pertama kalinya secara resmi mengakui tingkat kerusakan besar yang dialami fasilitas nuklirnya setelah serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga lokasi strategis pada akhir pekan lalu.
Pengakuan ini disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, yang menyebut kerusakan tersebut signifikan dan serius.
“Saya harus mengatakan, kerugiannya tidak sedikit, dan fasilitas kami telah rusak parah,” ujar Araghchi dalam wawancara eksklusif dengan televisi pemerintah Iran, seperti dimuat New York Times pada Jumat, 20 Juni 2025.
Ia menyebut Organisasi Energi Atom Iran masih mengawasi kerusakan dan kerugian dari serangan yang menyasar fasilitas nuklir di Fordo, Natanz, dan Isfahan.
Pernyataan Araghchi menjadi pengakuan paling blak-blakan dari pihak Iran, berbeda dengan pernyataan sebelumnya dari Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Dalam rekaman video, Khamenei mengecilkan dampak serangan tersebut dengan mengatakan bahwa serangan terhadap fasilitas nuklir Iran tidak berdampak apapun dan klaim Presiden AS Donald Trump bahwa situs-situs itu telah dilenyapkan terlalu dibesar-besarkan.
Dalam wawancara yang sama, Araghchi juga menyinggung kemungkinan penghentian kerja sama Iran dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang selama ini menjadi pengawas program nuklir Iran di bawah kesepakatan internasional.
Ia mempertanyakan apakah inspektur badan PBB itu akan diizinkan kembali masuk ke fasilitas-fasilitas nuklir Iran.
“Iran tidak akan menyambut kunjungan Direktur Jenderal Rafael Grossi saat ini,” tegasnya.
📎 Baca juga: Iran Konfirmasi Komandan IRGC Ali Shadmani Gugur akibat Luka dari Serangan Israel
Langkah tersebut mendapat landasan hukum setelah Dewan Wali Iran menyetujui RUU yang disahkan parlemen berhaluan garis keras, yang secara efektif akan melarang seluruh bentuk kerja sama dengan IAEA sebagai tanggapan terhadap serangan AS.
Meski Presiden Masoud Pezeshkian belum memutuskan untuk mengesahkan RUU tersebut, Menlu Araghchi menyatakan komitmen pemerintah terhadap aturan baru itu.
“Tidak diragukan lagi, kami berkewajiban untuk menegakkan undang-undang ini. Mulai sekarang, hubungan Iran dengan badan tersebut akan mengambil bentuk yang berbeda,” ujarnya.
Ketidakjelasan kini menyelimuti nasib program nuklir Iran. Belum ada kepastian mengenai apa yang terjadi dengan sekitar 400 kilogram uranium yang telah diperkaya, jumlah yang cukup untuk memproduksi 10 senjata nuklir jika dimanfaatkan untuk tujuan militer. Belum diketahui pula apakah sentrifugal canggih milik Iran selamat dari serangan.
Sementara itu, para analis menilai Iran sedang memainkan strategi ketidakpastian strategis dalam diplomasi nuklirnya.
“Iran ingin merahasiakan semuanya, untuk memastikan mereka dapat memainkan permainan poker diplomatik tentang tingkat kerusakan pada lokasi tersebut dan nasib tumpukan uranium yang diperkaya,” ujar Sina Azodi, pakar program nuklir Iran dari Universitas George Washington.
Meski Presiden Trump dan utusan khusus Timur Tengah-nya, Steve Witkoff, menyatakan bahwa Iran dan AS akan segera kembali ke meja perundingan, Araghchi membantah telah ada kesepakatan apa pun.
“Apakah kita akan kembali berdiplomasi dengan Amerika Serikat atau tidak, sekarang sedang dipertimbangkan dan akan bergantung pada kepentingan nasional kita,” ucap Araghchi. []