TERBARU

NasionalNews

Mengapa Kulit Jokowi Berubah? Dokter Jelaskan Perbedaan Alergi Biasa dan Penyakit Langka

ORINEWS.id –  Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) tengah mengalami masa pemulihan dari alergi kulit yang dialaminya setelah kunjungan ke Vatikan pada 26 April 2025.

Ajudan Jokowi, Kompol Syarif Fitriansyah, memberikan klarifikasi terkait kondisi kesehatan mantan presiden tersebut di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, pada Minggu (22/6/2025).

“Kondisi Bapak membaik, sedang proses pemulihan, kalau memang secara visual kita bisa lihat kulit Bapak memang agak berubah. Secara fisik oke, beliau nggak ada masalah. Beliau sangat-sangat sehat walafiat,” ungkap Syarif.

Ia juga menegaskan bahwa tidak ada penyakit lain yang diderita Jokowi selain alergi tersebut, dengan menjelaskan bahwa secara medis dokter telah menyampaikan bahwa alergi yang dialami Jokowi menyebabkan peradangan, namun proses pemulihannya saat ini sangat membaik.

Kondisi kulit Jokowi yang berubah terlihat jelas di area wajah dan leher dengan munculnya ruam serta pembengkakan wajah, yang masih tampak samar hingga perayaan ulang tahun ke-64 pada Kamis (21/6/2025).

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Jokowi tidak melayani permintaan foto bersama dan hanya berada sebentar di ambang pagar rumah sebelum kembali masuk.

Spekulasi mengenai kondisi kesehatan Jokowi sempat mencuat dengan dugaan bahwa ia menderita penyakit langka Stevens Johnson Syndrome (SJS), namun hal ini tegas dibantah oleh Kompol Syarif Fitriansyah pada Kamis (5/6/2025).

“Wah, hoaks itu, enggak benar itu,” tandas Syarif ketika menampik kabar tersebut.

SJS merupakan penyakit langka sekaligus serius yang menyerang kulit dan selaput lendir manusia, meliputi mulut, hidung, mata, dan alat kelamin, dengan tingkat kematian sekitar 10 persen akibat komplikasi seperti pneumonia, sepsis, dan kegagalan organ.

Sindrom yang pertama kali dijelaskan oleh dokter Albert Mason Stevens dan Frank Johnson pada 1922 ini umumnya dipicu oleh reaksi alergi terhadap obat-obatan.

Seperti antibiotik, obat anti-kejang, pereda nyeri, serta obat asam urat, atau infeksi virus seperti influenza, HIV, hepatitis, dan gondongan.

Gejala awal SJS menyerupai flu biasa dengan demam tinggi, batuk, mata terasa panas, nyeri tenggorokan, dan kelelahan.

Namun kemudian berkembang menjadi ruam kemerahan yang menyebar cepat, melepuh pada berbagai area tubuh, hingga pengelupasan kulit.

Kondisi ini memerlukan rawat inap dan perawatan intensif karena dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan kematian jika tidak ditangani dengan cepat.

Untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai alergi kulit, spesialis dermatologi Dr dr I Gusti Nyoman Darmaputra, SpDVE, Subsp.OBK, FINSDV, FAADV, menjelaskan bahwa alergi kulit merupakan reaksi berlebihan sistem kekebalan tubuh terhadap zat asing yang seharusnya tidak berbahaya.

“Jadi, peradangan itu adalah respons tubuh yang ‘overprotektif’,” ucapnya.

Dr Darmaputra menambahkan bahwa reaksi alergi dapat memicu gejala seperti kemerahan, bengkak, dan gatal akibat pelepasan senyawa histamin.

Beberapa jenis alergi kulit yang umum terjadi antara lain urtikaria (biduran) dengan bentol-bentol merah yang timbul-tenggelam, dermatitis kontak alergi berupa ruam merah di area yang terkena alergen langsung.

Erupsi makulopapular dengan bintik-bintik kecil menyebar akibat reaksi obat, dan eksim atopik sebagai kondisi kronis dengan kulit kering dan gatal.

Khusus untuk alergi di wajah, Dr Darmaputra menjelaskan bahwa penyebab paling umum adalah dermatitis kontak alergik dari bahan kosmetik, sunscreen, sabun muka, atau masker wajah, dengan kulit wajah yang lebih sensitif sehingga gejala cenderung lebih cepat terlihat dan mengganggu secara estetis.

Senada dengan hal tersebut, spesialis kulit dr Ruri D Pamela, SpDVE, FINSDV, menyebutkan berbagai pemicu alergi kulit meliputi kontak langsung dengan logam, lateks, kosmetik, makanan atau obat-obatan, serta faktor lingkungan seperti debu, serbuk sari, gigitan serangga, dan cuaca ekstrem.

“Saat terkena alergen, tubuh akan melepaskan histamin dan zat kimia lain yang menyebabkan radang,” jelas dr Ruri.

Dengan waktu pemulihan yang biasanya berlangsung beberapa hari hingga satu minggu untuk kasus ringan yang segera ditangani, namun bisa lebih lama jika pemicunya terus digunakan atau terjadi komplikasi.

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.
Enable Notifications OK No thanks