ORINEWS.id – Polemik penetapan empat pulau di perairan barat Aceh sebagai wilayah administratif Sumatera Utara (Sumut) kembali menuai reaksi keras. Kali ini, suara datang dari kalangan pemuda Aceh. Jeri Prayoga, mahasiswa Fakultas Hukum Pidana Islam, STAI Aceh Tamiang, menyuarakan keberatannya terhadap Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kepmendagri) yang menetapkan Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil (Ketek), Pulau Panjang, dan Pulau Lipan sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
“Tanah kami bukan hadiah administratif,” tegas Jeri dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/6/2025). Ia menilai keputusan tersebut cacat secara historis, yuridis, dan mengancam martabat masyarakat Aceh.
Menurut Jeri, sejak masa pra-kemerdekaan hingga era modern, keempat pulau itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Aceh, khususnya nelayan Aceh Singkil dan Aceh Selatan.
“Pulau-pulau ini telah menjadi jalur pelayaran tradisional dan wilayah adat kami. Fakta sejarah ini tidak boleh diabaikan hanya karena alasan teknis administratif,” ujarnya.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Aceh dan Sumatera Utara, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Jeri menilai keputusan Kemendagri bertentangan dengan hierarki perundang-undangan.
📎 Baca juga: Akhirnya Prabowo Turun Tangan Atasi Polemik Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut
Ia juga menilai, penetapan batas wilayah tidak bisa semata-mata berlandaskan pada “kesepakatan batas darat” tanpa mempertimbangkan aspek sejarah dan hukum yang lebih tinggi.
“UUPA adalah lex specialis yang lahir dari perjanjian damai Helsinki, yang mengakui kekhususan Aceh. Maka, pengalihan wilayah tanpa mempertimbangkan dasar hukum ini merupakan pelanggaran serius terhadap semangat perdamaian dan otonomi daerah,” tegasnya.
Lebih jauh, Jeri menyoroti bahwa selain aspek hukum, masyarakat di sekitar pulau-pulau tersebut secara sosiokultural lekat dengan budaya pesisir Aceh.
“Bahasa, adat, dan struktur sosial masyarakat di sana merupakan bagian dari identitas Aceh. Mengalihkan wilayah itu ke provinsi lain bukan hanya soal peta, tapi soal memaksakan identitas yang keliru,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa akses terhadap sumber daya laut di sekitar pulau-pulau tersebut sangat vital bagi nelayan Aceh. Jika wilayah tersebut benar-benar berpindah, maka potensi kerugian ekonomi dan sosial akan sangat besar.
Jeri menyambut baik langkah Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan untuk mengambil alih penanganan kasus ini. Namun, ia menekankan pentingnya keputusan yang tidak sekadar kompromi, melainkan berpihak pada keadilan dan fakta sejarah.
“Tidak ada konsep ‘mengelola bersama’ jika itu adalah milik sah Aceh. Ini seperti memaksa pemilik rumah berbagi dengan tetangganya tanpa persetujuan,” ujarnya.
Ia juga menyerukan agar DPR RI dan DPD RI mengadakan rapat dengar pendapat terbuka untuk memberi ruang pada masyarakat Aceh menyampaikan aspirasi dan bukti sejarah yang mereka miliki. Kepada Pemerintah Aceh, Jeri menyampaikan harapan agar tidak diam dan pasif dalam persoalan ini.
“Ini bukan semata soal batas administratif, ini soal kedaulatan wilayah dan kehormatan rakyat Aceh,” ucapnya.
📎 Baca juga: Respon Keputusan ‘Dungu’ soal 4 Pulau, Sentral Informasi Referendum Aceh Keluarkan Sikap Tegas
Di akhir pernyataannya, Jeri menyatakan bahwa generasi muda Aceh siap berdiri di garda terdepan untuk mempertahankan hak wilayah.
“Jika tanah kami bisa diambil tanpa suara kami, apa arti konstitusi, apa arti demokrasi? Keutuhan Aceh bukan pemberian. Ia adalah hak sejarah yang dijaga dengan darah, dan harus dipertahankan dengan suara yang lantang,” pungkasnya.
Empat pulau yang disengketakan tersebut menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh. Seruan dari pemuda seperti Jeri menambah suara dari akar rumput yang meminta agar sejarah, hukum, dan martabat tidak dikorbankan oleh kesalahan administratif. []