ORINEWS.id – Pergeseran wilayah administratif empat pulau yang selama ini merupakan bagian Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Aceh dan mencerminkan kegagalan pemerintah pusat dalam mengelola wilayah negara secara adil.
Empat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan, yang secara historis dan geografis berada dalam naungan Pemerintah Provinsi Aceh.
“Klaim sepihak secara tiba-tiba, tanpa perundingan dan keadilan. Jelas ini merusak martabat dan marwah Aceh,” kata Juru Bicara Mualem Center Banda Aceh, Fakhrurazi Zulkifli melalui keterangan resminya yang diterima media ini, Kamis (12/6/2025).
Fakhrurazi mengatakan, sesuai Surat Nomor 136/40430 menyatakan bahwa berdasarkan Peta Topografi TNI AD 1978, keempat pulau itu masuk kedalam wilayah Provinsi Aceh.
Menurutnya, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil dalam kurun waktu tahun 2007-2015 telah membangun beberapa bangunan, seperti dermaga, mushalla, rumah singgah dan tugu batas dengan menggunakan dana APBD.
📎 Baca juga: Dek Gam: Tito Jangan Buat Gaduh, Kembalikan Empat Pulau Milik Aceh
“Di sini menandakan bahwa sejak tahun 2007, Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil telah melakukan pengelolaan keempat pulau tersebut sesuai dengan prinsip effective occupation,” kata Fakhrurrazi.
Karena itu, Mualem Center dengan tegas mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, yang dianggap sebagai aktor utama dalam kisruh nasional ini.
“Tito dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas lepasnya empat pulau ini dari Aceh,” tegas Fakhrurrazi.
Ia menilai Mendagri dan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) telah menciptakan kegaduhan yang meresahkan masyarakat Aceh.
“Kami percaya Presiden Prabowo Subianto tidak akan membiarkan kegaduhan ini melebar dan mengganggu stabilitas nasional,” ujar Fakhrurazi.
Lebih lanjut, Mualem Center menolak tegas opsi penyelesaian hukum sebagaimana disampaikan oleh Mendagri. Mereka mendorong penyelesaian melalui jalur Politik dan diplomasi antar institusi yang menjunjung tinggi prinsip perdamaian dan penghormatan terhadap kedaulatan daerah.
“Kami juga menolak opsi pengelolaan bersama. Itu bukan solusi, melainkan pengesahan atas pencaplokan wilayah. Kami tidak sedang bagi-bagi tanah hibah. Ini soal hak, soal identitas, soal sejarah. Setiap jengkal tanah Aceh akan kami perjuangkan dan pertahankan,” lanjutnya.
📎 Baca juga: Soroti Sengketa 4 Pulau di Singkil, Mahasiswa Aceh Tamiang: Cerminan Negara Abai Sejarah dan Keadilan
Dalam pernyataannya, Mualem Center menegaskan, stabilitas dan kedamaian Aceh pasca konflik sangat bergantung pada penghormatan terhadap MoU Helsinki, nilai-nilai ke-Acehan, dan komitmen moral antara pemerintah pusat dan rakyat Aceh.
“Jangan ganggu kedamaian Aceh. Masalah sekecil apa pun—termasuk soal wilayah ini — bisa menjadi bara yang membakar perlawanan. Biarkan rakyat Aceh hidup tenang setelah perang yang panjang. Hormati perjanjian damai. MoU Helsinki itu kesepakatan antar dua lelaki. Dan lelaki, tak pernah ingkar janji!” tutup Fakhrurazi. []