OLEH: KHAIRUL A. EL MALIKY
DI TENGAH gempuran narasi pendidikan inklusif dan pemerataan akses, realitas di lapangan justru menunjukkan jurang yang makin dalam antara sekolah swasta dan sekolah elite. Sementara sekolah swasta lokal berjuang keras menjaga eksistensi, sekolah-sekolah elite, terutama yang bertaraf internasional, menikmati limpahan fasilitas, jaringan global, hingga status sosial yang mengundang gengsi.
Pertarungan ini bukan soal kualitas semata, tapi lebih jauh menyangkut Politik kapital, kelas sosial, dan ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan kita.
Sekolah Swasta: Pilar Alternatif yang Terpinggirkan
Sekolah swasta, terutama yang berskala menengah ke bawah, sesungguhnya menjadi tulang punggung pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data BPS pada 2023, sekitar 54 persen siswa SMA menempuh pendidikan di sekolah swasta. Namun, peran vital ini tidak selalu berbanding lurus dengan dukungan negara.
Pemerintah cenderung memberikan perhatian besar kepada sekolah negeri dan sekolah unggulan, sementara sekolah swasta diperlakukan layaknya pemain cadangan. Dibiarkan bersaing tanpa perlindungan dalam pasar pendidikan yang makin liberal.
Padahal, banyak sekolah swasta yang berjuang menghadirkan pendidikan bermutu dengan biaya terbatas, mendekatkan layanan pendidikan ke pelosok, dan menjadi wadah bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak tertampung di sekolah negeri. Namun, mereka harus berhadapan dengan sekolah-sekolah elite yang tidak hanya bertarif tinggi, tetapi juga mendapat legitimasi sosial dan politik.
Sekolah Elite: Gengsi, Privilege, dan Reproduksi Kelas
Sekolah elite bukan hanya menawarkan kurikulum Cambridge atau IB (International Baccalaureate), melainkan juga jejaring sosial global, fasilitas mewah, dan pengajaran dalam bahasa asing. Dalam banyak kasus, sekolah elite menjadi instrumen reproduksi kelas. Pierre Bourdieu (1977) telah menguraikan bagaimana lembaga pendidikan kerap mereproduksi struktur kelas dominan melalui apa yang ia sebut cultural capital dan habitus.
Dengan membayar ratusan juta per tahun, para orang tua dari kelas menengah atas tidak hanya membeli pendidikan, tapi juga membeli “masa depan”, dalam bentuk koneksi, prestise, dan peluang karier. Di sisi lain, siswa dari sekolah swasta biasa, meskipun cerdas dan gigih, kerap menghadapi diskriminasi simbolik dalam akses ke universitas favorit, beasiswa luar negeri, atau pekerjaan prestisius.
Ketimpangan yang Disistematisasi
Sistem zonasi yang diberlakukan untuk sekolah negeri tidak berlaku untuk sekolah swasta atau sekolah internasional. Hasilnya adalah segmentasi pendidikan yang makin tajam: sekolah negeri untuk warga lokal yang beruntung masuk zonasi, sekolah swasta untuk kalangan menengah, dan sekolah elite untuk kaum berada.
Bahkan dalam seleksi masuk perguruan tinggi, siswa dari sekolah internasional atau elite kerap memiliki keunggulan karena sistem seleksi yang masih bias terhadap capaian akademik formal dan sertifikasi internasional.
Fakta ini diperkuat oleh riset dari SMERU Research Institute (2022), yang menyatakan bahwa siswa dari sekolah internasional memiliki peluang 3,5 kali lebih besar diterima di universitas luar negeri dibandingkan siswa dari sekolah swasta biasa, meskipun nilai akademik setara.
Melawan Ketimpangan, Membangun Kesetaraan
Apakah ini berarti sekolah swasta biasa tidak punya harapan? Tidak. Justru saatnya sekolah swasta menegaskan peran strategisnya sebagai alternatif pendidikan yang berakar pada nilai, kedekatan komunitas, dan semangat pembebasan. Ini bukan sekadar soal menaikkan citra, tapi memperkuat kapasitas: peningkatan mutu guru, integrasi teknologi, hingga pendekatan pedagogi yang kontekstual dan transformatif.
Di sisi lain, negara harus hadir. Tidak cukup hanya menggelontorkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tapi juga mereformasi sistem evaluasi dan akreditasi yang masih bias terhadap kapital. Pemerintah harus mengintervensi dominasi sekolah elite dengan regulasi yang menjamin keadilan, termasuk transparansi kurikulum, sertifikasi guru asing, dan pengenaan pajak pendidikan yang adil.
Penutup
Pertarungan antara sekolah swasta dan sekolah elite bukanlah semata persaingan pasar, tapi cermin dari kesenjangan sosial yang makin melebar. Bila pendidikan dibiarkan tunduk pada logika komoditas, maka sekolah bukan lagi ruang pembebasan, melainkan arena reproduksi privilese.
Sudah saatnya kita merumuskan ulang arah pendidikan: dari sekadar prestise menuju keadilan. Sebab sekolah seharusnya bukan tempat menimbun gengsi, tapi ruang tumbuh bersama tanpa memandang kelas sosial.
(Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis)