TERBARU

NasionalNews

Antara Surga Ekologis dan Neraka Ekspansi Kapital

ORINEWS.id – RAJA AMPAT bukan sekadar gugusan pulau indah di timur Indonesia, melainkan representasi konkret dari warisan alam global yang dikagumi dunia. Disebut sebagai The Last Paradise on Earth, wilayah ini menyimpan lebih dari 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 1.500 spesies ikan tropis.

Namun, dalam bayang-bayang kekayaan hayati itu, Raja Ampat tengah berdiri di ujung tanduk. Ancaman eksploitasi tambang, pariwisata masif tanpa kendali, serta kelambanan regulasi membuat masa depan surga ini kian kabur.

Di balik panorama memesona, Raja Ampat sedang dijerat oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang bisa mengubahnya menjadi kisah kehancuran ekologis paling menyakitkan dalam sejarah konservasi Indonesia.

Raja Ampat: Surga Keanekaragaman Hayati yang Rawan Eksploitasi

Secara ekologis, Raja Ampat merupakan kawasan yang unik. Laporan dari The Nature Conservancy dan Conservation International menunjukkan bahwa Raja Ampat memiliki lebih dari 600 spesies karang keras, angka tertinggi di dunia.

Bahkan wilayah ini diakui sebagai pusat Coral Triangle, zona paling kaya hayati laut di planet ini. Namun, keunggulan ekologis ini justru menjadi pisau bermata dua.

Pada 2023 dan 2024, sejumlah perusahaan tambang dan energi mulai melirik potensi wilayah daratan Raja Ampat, terutama di Pulau Waigeo dan Batanta. Eksplorasi pertambangan emas, nikel, dan batu bara diam-diam mulai mengintai.

Izin usaha pertambangan (IUP) sempat dikeluarkan, meski beberapa di antaranya akhirnya dibatalkan oleh pemerintah daerah. Namun, fakta bahwa celah legal pernah terbuka menunjukkan betapa ringkih benteng perlindungan ekosistem ini terhadap tekanan korporasi.

Pariwisata: Menyelamatkan atau Membunuh Pelan-Pelan?

Ironisnya, sektor pariwisata yang semula digadang-gadang sebagai solusi konservasi justru bisa menjadi senjata makan tuan.

Data dari Badan Pusat Statistik Papua Barat Daya menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke Raja Ampat melonjak lebih dari 300 persen dalam satu dekade terakhir.

BACA JUGA
Gibran Disemprot Emak-Emak: Punya Kemampuan Apa Bisa Jadi Wapres?

Dampaknya? Peningkatan pembangunan resort, limbah laut dari kapal wisata, hingga tekanan terhadap populasi laut dan terumbu karang.

Studi dari LIPI (kini BRIN) pada 2021 mencatat bahwa 42 persen dari terumbu karang di sekitar Pulau Kri dan Pianemo mulai menunjukkan tanda-tanda degradasi akibat kontak manusia, pembuangan limbah, dan pemutihan (bleaching) akibat perubahan suhu laut.

Pemutihan karang ini bisa diperparah oleh lalu lintas kapal yang tinggi serta buangan limbah organik dan plastik dari aktivitas wisata yang tidak terkontrol.

Peraturan dan Perlindungan: Banyak, Tapi Tak Efektif

Raja Ampat memang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut sejak 2007 dengan pembentukan tujuh kawasan konservasi perairan (Marine Protected Areas/MPA). Namun, seperti banyak cerita konservasi lainnya di Indonesia, aturan yang baik sering kali tidak diiringi dengan pengawasan yang efektif.

Kajian dari World Resources Institute (WRI) tahun 2022 menggarisbawahi bahwa kawasan konservasi Raja Ampat menderita dari minimnya kapasitas pengelolaan, termasuk kekurangan personel lapangan, keterbatasan anggaran, dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran seperti penangkapan ikan ilegal atau penggunaan bahan peledak.

Selain itu, tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan sektor swasta membuat sistem pengelolaan kawasan menjadi tak sinkron. Alih-alih kolaboratif, pendekatan pengelolaan justru sering menjadi ajang tarik-menarik kepentingan sektoral.

Peran Masyarakat Lokal: Penjaga Terakhir

Masyarakat adat di Raja Ampat, seperti suku Maya, sebetulnya memiliki tradisi kearifan lokal dalam menjaga alam, seperti sistem sasi yaitu larangan mengambil hasil laut pada musim tertentu untuk menjaga kelestarian.

Namun, nilai-nilai ini mulai tergerus oleh gempuran gaya hidup modern, godaan ekonomi, dan ketidakterlibatan aktif mereka dalam proses perencanaan pembangunan pariwisata maupun tata ruang.

BACA JUGA
Polri Raih Penghargaan Lembaga dengan Pelayanan dan Komunikasi Terbaik

Sebuah riset dari Universitas Papua menyebutkan bahwa masyarakat lokal merasa semakin terpinggirkan dalam keputusan pembangunan. Banyak dari mereka yang menjadi penonton di rumah sendiri, dengan hasil ekonomi pariwisata lebih banyak dinikmati oleh investor luar. Ini bukan hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tapi juga memutus ikatan emosional masyarakat terhadap lingkungannya.

Jalan Tengah: Ekowisata yang Adil dan Partisipatif

Harapan masih ada jika pendekatan pembangunan diubah dari model eksploitatif menjadi transformatif. Konsep ekowisata partisipatif bisa menjadi kunci. Model ini mengedepankan keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam pengelolaan, keputusan, hingga keuntungan ekonomi dari pariwisata.

Beberapa inisiatif seperti Papua Diving atau Misool Eco Resort telah menunjukkan bahwa pariwisata bisa dikembangkan tanpa merusak lingkungan, asalkan dilakukan dengan prinsip keberlanjutan dan inklusi sosial.

Pemerintah pusat dan daerah juga harus mengevaluasi kembali kebijakan tata ruang dan menghapus semua celah yang memungkinkan aktivitas tambang di kawasan sensitif ini.

Regulasi lingkungan harus disertai dengan mekanisme pengawasan dan sanksi yang tegas, serta kolaborasi antara akademisi, masyarakat adat, dan sektor swasta.

Ancaman Nyata Krisis Iklim

Krisis iklim memperparah situasi. Peningkatan suhu laut akibat perubahan iklim mempercepat pemutihan karang dan mengganggu siklus hidup spesies laut. Laporan IPCC 2022 menekankan bahwa kawasan tropis seperti Raja Ampat berada dalam zona paling rentan.

Artinya, jika tidak ada aksi cepat dan sistemik, kerusakan ekologis bisa menjadi permanen dalam waktu yang lebih cepat dari yang kita bayangkan.

Kondisi ini menuntut pendekatan lintas sektor: pengendalian emisi karbon, pelestarian hutan mangrove, restorasi terumbu karang, serta edukasi publik tentang dampak krisis iklim pada ekosistem laut.

Raja Ampat bisa menjadi laboratorium global untuk mitigasi iklim berbasis ekosistem laut, kalau ada kemauan Politik dan solidaritas global.

BACA JUGA
Buka Keran Ekspor Pasir Laut Kebijakan Gegabah di Ujung Kekuasaan Jokowi

Menjaga Surga, Menghindari Neraka Ekologis

Pertarungan menyelamatkan Raja Ampat bukan sekadar urusan Papua atau Indonesia. Ini adalah pertaruhan martabat manusia dalam menjaga sisa-sisa surga ekologis yang masih tersisa di Bumi.

Di ujung tanduk ini, kita hanya punya dua pilihan: menyelamatkan Raja Ampat dan menjadikannya simbol keberhasilan kolaborasi manusia dengan alam, atau membiarkannya hancur dan menyesal di kemudian hari.

Indonesia harus memilih jalan tegas: menolak segala bentuk tambang, mengendalikan pariwisata yang serampangan, menguatkan masyarakat lokal sebagai penjaga utama, dan mengintegrasikan konservasi dalam seluruh rencana pembangunan.

Hanya dengan cara itulah Raja Ampat bisa tetap menjadi legenda yang hidup, bukan dongeng sedih tentang surga yang hilang.

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.
Enable Notifications OK No thanks