TERBARU

Opini

KOPERASI MERAH PUTIH: Antara Kendali dari Atas dan Kemandirian Akar Rumput

*Oleh: Faisal Ramadhan

Di tengah narasi kedaulatan ekonomi dan semangat nasionalisme yang terus digemakan oleh presiden Prabowo Subianto, muncul satu program “instan” pemerintah, yaitu pembentukan Koperasi Merah Putih. Ia tidak lahir dari rahim komunitas kecil di desa/kelurahan, bukan pula buah dari kumpulan aspirasi pedagang pasar, petani, atau nelayan. Sebaliknya, koperasi ini tumbuh dari peta besar pemerintahan negara, disusun oleh elite pemerintahan, didorong oleh logika strategi nasional, dan dijalankan secara top-down.

Strategi top-down, dalam terminologi kebijakan publik dan manajemen organisasi, berarti bahwa ARAH, STRUKTUR, dan KEBIJAKAN dibentuk dari atas lalu dijalankan ke bawah. Dalam konteks koperasi, ini berarti inisiatif bukan datang dari masyarakat sebagai anggota, melainkan dari otoritas pusat, seperti kementerian, BUMN atau aktor negara lainnya. Sistem top down yang tampak nyata dalam pendirian koperasi Merah Putih Ini BERTENTANGAN dengan SEMANGAT KOPERASI SEJATI, YANG MENEKANKAN PADA OTONOMI dan SWADAYA, bukan pada modal awal dari bank HIMBARA.

Setelah dicermati langkah penerapan sistem top down bukan tanpa alasan. Dalam kacamata strategis, pendekatan top-down memiliki sejumlah keunggulan jangka pendek yang signifikan, namun juga rentan digunakan sebagai alat politik dan kekuasaan, jika dukungan elite berhenti, koperasi bisa runtuh.

Dalam praktik, sistem top-down seringkali rawan digunakan sebagai kendaraan politik jangka pendek (misalnya menjelang pemilu), yang mengorbankan keberlanjutan institusinya.

Saat pemerintah pusat ingin mendorong sebuah kebijakan secara nasional, katakanlah ketahanan pangan atau distribusi energi, maka dibutuhkan alat yang bisa digerakkan cepat dan menyebar luas. Koperasi dalam model top-down menjawab kebutuhan ini. Ia bisa diciptakan, dimodali, dan diatur dalam hitungan bulan, bahkan pekan. Tidak perlu menunggu masyarakat berkumpul, berdebat, atau menyusun AD/ART yang rumit.

Berita Lainnya
Danantara: Panduan untuk Orang Idiot

Strategi sistem top down juga memungkinkan pembentukan koperasi dalam jaringan besar. Skala yang luas ini bisa menjadi modal penting dalam konsolidasi ekonomi. Misalnya, koperasi di sektor pangan bisa langsung membeli hasil tani dalam jumlah besar, lalu didistribusikan lewat jaringan koperasi serupa di berbagai wilayah.

Koperasi Merah Putih yang tiba-tiba tumbuh puluhan ribu dalam waktu singkat (sebelum hari koperasi, pada Juli 2025) dapat dijadikan narasi atas perjuangan ekonomi bangsa oleh penguasa saat ini. Ia menjadi narasi tandingan terhadap dominasi pasar bebas, praktik kartel swasta, atau tekanan ekonomi asing. Dengan pendekatan ini, koperasi dijadikan benteng ekonomi kerakyatan, paling tidak secara simbolik.

Namun, setiap strategi datang bersama biaya strategis. Dalam hal ini, risiko jangka panjang dari pendekatan top-down cukup serius jika tidak disertai mekanisme korektif.

Bahaya laten dari koperasi yang dibentuk dari atas adalah rapuhnya legitimasi sosial. Masyarakat bisa jadi tidak merasa memiliki koperasi tersebut. Mereka hanya menjadi peserta pasif, bukan penggerak aktif. Padahal, kekuatan utama koperasi terletak pada partisipasi dan keswadayaan anggota.

Koperasi yang lahir karena dorongan elite, akan hidup dan mati bersama elite. Begitu perhatian politik atau dukungan anggaran hilang, koperasi berisiko runtuh. Tanpa kemandirian dari bawah, koperasi akan bergantung pada “oksigen” yang disalurkan dari atas.

Lebih jauh, koperasi model ini rentan dijadikan alat politik sesaat. Ia bisa “dihidupkan” untuk kebutuhan “perangkap suara”, digunakan untuk pencitraan, lalu dilupakan setelah suara terkumpul. Ini tidak hanya merusak institusi koperasi, tapi juga mencederai kepercayaan publik.

Kebutuhan warga di suatu daerah tentu berbeda dengan kebutuhan mendesak bagi warga di daerah lain, begitu pula angka inflasi lokal juga berbeda antar tiap daerah. Sayangnya, strategi top-down cenderung seragam dan tidak memperhatikan nuansa lokal. Akibatnya, koperasi tidak nyambung dengan realitas lapangan.

Berita Lainnya
Wagub Aceh Terima Kunjungan IDH, Pererat Silaturahmi dengan Pemerintahan Baru

Lalu apa solusi strategisnya?

Saya percaya bahwa pendekatan top-down tetap relevan. Tapi harus dipadukan dengan bottom-up, dalam sebuah strategi hibrid. Negara tetap punya peran penting: menyediakan struktur, akses modal, dan kebijakan afirmatif. Namun, masyarakat yang menjadi pengurus koperasi adalah mereka yang benar mampu untuk mengelola, mengatur, dan menentukan masa depan koperasinya sendiri. Sehingga Koperasi Merah Putih bisa melampaui perannya sebagai proyek negara. Ia bisa menjadi organisasi ekonomi kolektif yang hidup, kuat, dan berkelanjutan, bukan karena ia disokong dari atas oleh dana Bank HIMBARA, tetapi karena ia ditopang dari kemampuan tata kelola dari warga.

Penulis adalah warga Kelurahan Durian, kota Medan, yang pernah belajar “Pembangunan Partisipatif”.

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.
Enable Notifications OK No thanks