*Oleh: Maulana Alhamdi Stivani dan Dr. Irwan Saputra, S.Kep., M.K.M
Dalam perjalanan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, promosi kesehatan sering kali berada di belakang panggung dibandingkan dengan kuratif atau pengobatan. Padahal, promosi kesehatan merupakan pilar utama dalam membentuk masyarakat yang sadar, mandiri, dan bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri. Dalam konteks global, promosi kesehatan bahkan menjadi strategi jangka panjang yang lebih hemat biaya, lebih inklusif, dan lebih berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.
Indonesia sudah sejak lama mengadopsi pendekatan promosi kesehatan melalui berbagai program seperti Posyandu, Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), hingga integrasi promosi kesehatan dalam layanan primer seperti puskesmas dan sekolah. Namun efektivitas dari strategi ini masih beragam, tergantung pada wilayah, kapasitas tenaga promosi kesehatan, serta partisipasi masyarakat.
Aceh, sebagai provinsi dengan kekhususan budaya, sejarah, dan struktur sosialnya, memiliki potensi sekaligus tantangan tersendiri dalam menjalankan strategi promosi kesehatan yang efektif. Dalam banyak kasus, keberhasilan promosi kesehatan di Aceh tidak hanya bergantung pada ketersediaan materi kampanye atau sumber daya, tetapi juga pada bagaimana pesan-pesan kesehatan tersebut diterjemahkan dalam konteks nilai-nilai lokal dan pendekatan yang relevan dengan realitas masyarakat.
Salah satu contoh menarik datang dari upaya promosi kesehatan ibu dan anak di beberapa kabupaten di Aceh Besar dan Aceh Utara, di mana para tenaga promosi kesehatan melibatkan tokoh agama dan tokoh adat dalam menyampaikan pesan tentang pentingnya imunisasi, gizi seimbang, dan perawatan kehamilan. Strategi ini menunjukkan bahwa keberhasilan kampanye kesehatan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat terhadap penyampai pesan. Di Aceh, di mana ulama dan perangkat gampong memiliki pengaruh besar, menjadikan mereka mitra strategis dalam promosi kesehatan adalah langkah yang bijak.
Namun, tantangan juga tak sedikit. Dalam isu stunting, misalnya, Aceh termasuk dalam lima besar provinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia. Padahal, berbagai kampanye telah dijalankan baik melalui media massa maupun fasilitas kesehatan. Ini menunjukkan bahwa promosi kesehatan tidak cukup hanya dengan menyampaikan informasi, tetapi harus menyentuh pola pikir, kebiasaan, bahkan sistem sosial yang lebih dalam. Masyarakat tidak akan serta-merta mengubah perilaku hanya karena diberi pengetahuan; mereka butuh proses penyadaran yang konsisten, pendekatan empatik, dan dukungan lingkungan yang kondusif.
Kondisi geografis dan sebaran desa terpencil juga menjadi tantangan dalam menjangkau seluruh populasi dengan pesan-pesan kesehatan. Di banyak desa di Aceh Tengah atau Gayo Lues, masyarakat lebih terpapar pada informasi dari media sosial yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan dibanding informasi resmi dari pemerintah atau tenaga kesehatan. Maka dari itu, strategi promosi kesehatan harus adaptif, memanfaatkan media digital secara bijak, sekaligus memperkuat pendekatan langsung melalui relawan kesehatan, kader Posyandu, dan petugas puskesmas keliling.
Upaya promosi kesehatan di Aceh juga membutuhkan penguatan kapasitas tenaga promosi itu sendiri. Saat ini, masih banyak fasilitas kesehatan yang belum memiliki tenaga promosi kesehatan khusus, dan peran promosi sering disatukan dengan tugas lain yang menyita waktu. Padahal, promosi kesehatan bukan hanya tugas tambahan, tetapi fungsi utama yang harus dilaksanakan secara strategis dan profesional. Pelatihan berkelanjutan, penyediaan materi promosi yang kontekstual, serta pemanfaatan teknologi komunikasi menjadi kebutuhan yang mendesak.
Aceh juga dapat belajar dari model-model promosi kesehatan berbasis komunitas yang telah sukses di beberapa negara berkembang. Di Thailand, misalnya, program promosi kesehatan berhasil meningkatkan angka kunjungan antenatal care dan penurunan kasus penyakit menular melalui pelibatan komunitas sekolah dan sistem peer education. Jika dimodifikasi sesuai karakteristik Aceh, strategi serupa bisa diterapkan melalui majelis taklim, dayah, dan kelompok pemuda gampong yang memiliki jejaring sosial luas dan pengaruh kuat.
Perlu disadari bahwa promosi kesehatan bukan sekadar menyebar pamflet atau membuat spanduk. Promosi kesehatan sejatinya adalah proses membangun kesadaran kolektif, mengubah budaya, dan menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku sehat. Ia harus berjalan berdampingan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan pembangunan lingkungan. Di sinilah pentingnya lintas sektor dan lintas disiplin bekerja bersama dalam satu visi yang sama: masyarakat Aceh yang sehat jasmani dan rohani.
Aceh memiliki banyak modal sosial untuk memajukan promosi kesehatan, mulai dari struktur komunitas yang kuat, tradisi gotong royong, hingga nilai-nilai religius yang menjunjung tinggi kebersihan dan kesehatan. Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian untuk berinovasi, mengadopsi pendekatan yang lebih humanis, dan memastikan bahwa strategi promosi kesehatan benar-benar dirancang dari, oleh, dan untuk masyarakat.(*)
Penulis adalah Mahasiswa & Dosen Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2025