ORINEWS.id – Sepekan setelah kesepakatan gencatan senjata antara Pakistan dan India, Menteri Luar Negeri Pakistan melakukan kunjungan resmi ke China. Lawatan ini menjadi sorotan karena Pakistan membawa laporan kinerja senjata buatan China yang digunakan saat melakukan serangan balasan terhadap India.
Dalam konflik tersebut, Pakistan mengklaim jet tempurnya yang dipasok oleh China berhasil menembak jatuh enam pesawat tempur India yang dipasok oleh Rafale. Keberhasilan ini dinilai oleh pihak Pakistan sebagai simbol menguatnya kemampuan militer China di kancah internasional.
Namun, sejumlah analis mempertanyakan kesimpulan tersebut. Lyle Morris dari Asia Society Policy Institute menilai bahwa informasi terkait masih sangat terbatas, sehingga belum bisa dijadikan tolok ukur yang pasti.
“Namun, ini merupakan kesepakatan langka bagi masyarakat internasional untuk mengukur alutsista China di medan pertempuran melawan alutsista Barat,” kata Morris seperti dikutip AFP, Selasa (20/5/2025).
📎 Baca juga: Sosok Ayesha Farooq Pilot Pesawat Tempur Wanita Pertama Pakistan, Ramai Disebut Tembak Jatuh Jet Rafale India
Berdasarkan laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Pakistan saat ini menjadi negara tujuan ekspor utama senjata buatan China, dengan kontribusi mencapai 63 persen.
Dalam pertempuran terbaru itu, militer Pakistan mengandalkan dua jet tempur andalan buatan China, yakni J10-C Vigorous Dragon dan JF-17 Thunder, yang dipersenjatai rudal udara-ke-udara. Menariknya, ini merupakan kali pertama J10-C terlibat dalam pertempuran aktif secara langsung.
Selain pesawat tempur, sistem pertahanan udara Pakistan juga menggunakan sejumlah peralatan militer buatan China. Beberapa di antaranya adalah sistem rudal jarak jauh HQ-9P, radar pemantau, hingga pesawat drone bersenjata dan pengintai.
“Ini pertempuran berkelanjutan pertama yang sebagian besar pasukan Pakistan menggunakan senjata China dan bergantung kepadanya sebagai pilihan utama,” ujar Bilal Khan, pendiri Quwa Defence News and Analysis Group.
Performa senjata-senjata ini mendorong kenaikan tajam saham Chengdu Aircraft Company – perusahaan produsen J10-C – yang dilaporkan melonjak hingga lebih dari 40 persen saat berlangsungnya konflik. Para analis memperkirakan potensi lonjakan permintaan alutsista dari negara lain terhadap produk militer China.
📎 Baca juga: AS Panik, Jet Siluman F-35 Nyaris Hancur Ditembak Rudal Yaman
Meski begitu, sejumlah pengamat tetap memberi catatan. Industri pertahanan China dinilai masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal kemampuan produksi massal dan pengembangan teknologi mesin pesawat secara mandiri.
Beberapa peneliti juga menilai euforia pasar bisa jadi terlalu berlebihan. Mereka menegaskan pentingnya waktu untuk mengukur efektivitas nyata dari senjata-senjata tersebut dalam konteks jangka panjang.
“Masih perlu melihat seberapa baik semua senjata yang digunakan dapat bekerja dan apakah senjata itu benar-benar berarti,” tulis laporan tersebut.
Hingga kini, meskipun China mengalokasikan anggaran pertahanan dalam jumlah besar setiap tahunnya, posisinya sebagai eksportir senjata global masih tertinggal jauh dari Amerika Serikat. Konflik terbaru antara Pakistan dan India pun dinilai belum cukup untuk mengungkap sepenuhnya kemampuan militer Negeri Tirai Bambu di medan tempur yang sesungguhnya. []
📎 Baca juga: NASA Temukan Pangkalan Nuklir Rahasia AS di Greenland