TERBARU

Opini

Aceh di Persimpangan: Menemukan Arah Baru atau Terjebak Masa Lalu

*Oleh: Muhammad Zaldi

Advertisements
PEMA - IDUL ADHA 1446 H

Aceh merupakan sebuah entitas politik yang unik dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sebagai bekas kerajaan merdeka yang memiliki hubungan diplomatik internasional sejak abad ke-16, Aceh memiliki identitas politik tersendiri yang berbeda dari wilayah lain. Ketika konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia meletus pada 1976, Aceh memasuki babak traumatis selama hampir tiga dekade.

Babak baru sejarah Aceh dimulai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005. MoU ini memuat berbagai ketentuan mendasar seperti pengakuan terhadap kekhususan Aceh, pembentukan partai politik lokal, pengelolaan sumber daya alam, dan perlindungan hak-hak sipil rakyat Aceh. Salah satu hasil langsung dari MoU tersebut adalah munculnya kekuatan politik lokal pasca-konflik yang didominasi oleh eks kombatan dan simpatisan GAM.

Namun, dua dekade pasca-perdamaian, pertanyaan kunci mengemuka: apakah kekuatan ini benar-benar mampu menjalankan mandat transformasi sebagaimana diharapkan MoU Helsinki, atau justru kehilangan arah dalam arus politik transaksional?

Dalam teori rekonsiliasi pasca-konflik, John Paul Lederach menekankan bahwa perdamaian tidak hanya membutuhkan penghentian kekerasan, tetapi juga pembangunan institusi yang adil dan partisipatif. Ia menyebut bahwa keberlanjutan damai hanya mungkin bila terjadi “rekonsiliasi vertikal” (antara elite dan masyarakat) dan “rekonsiliasi horizontal” (antar komunitas). Di Aceh, rekonsiliasi vertikal masih belum optimal, terbukti dari stagnasi kelembagaan seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang hingga 2024 tidak menunjukkan progres signifikan dalam pengungkapan kebenaran sejarah dan pemulihan korban.

Menurut laporan KPP HAM Aceh (Komnas HAM, 2020), setidaknya 2.000 lebih kasus pelanggaran HAM berat belum terselesaikan, sementara dukungan politik terhadap pengaktifan KKR terhambat oleh minimnya inisiatif dari elite lokal. Ini menunjukkan lemahnya sensitivitas keadilan transisional dari kekuatan politik lokal yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan.

Max Weber mengklasifikasikan legitimasi dalam tiga bentuk: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Kekuatan politik lokal Aceh pasca-konflik pada awalnya memperoleh legitimasi karismatik sebagai warisan perjuangan bersenjata. Namun, legitimasi jenis ini bersifat sementara. Untuk bertahan, menurut Weber, harus segera ditransformasikan menjadi legitimasi rasional-legal melalui tata kelola yang transparan, meritokratis, dan akuntabel.

Faktanya, transformasi itu berjalan lambat. Indeks Transparansi Anggaran Daerah (TAID) Aceh tahun 2023 yang dirilis oleh FITRA menunjukkan skor hanya 52 dari 100, menempatkan Aceh di bawah rata-rata nasional. Padahal, dengan dana Otonomi Khusus yang besar—Rp 8-11 triliun per tahun sejak 2008—harusnya Aceh mampu menjadi pionir dalam tata kelola daerah yang modern.

Banyak capaian formal dari MoU Helsinki memang sudah direalisasikan. Misalnya, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kerangka hukum bagi kekhususan Aceh, termasuk kebijakan Syariat Islam, pembentukan Wali Nanggroe, dan partai politik lokal. Namun capaian substantif masih jauh dari harapan.

Salah satu titik krusial adalah pengelolaan sumber daya alam. MoU Helsinki Pasal 1.3 dan Pasal 1.4 menegaskan bahwa Aceh berhak mengatur sendiri sebagian besar pendapatan dari sumber daya alamnya. Namun menurut kajian ICEL (2021), realisasi kewenangan pengelolaan migas Aceh pasca-MoU masih terbentur ketentuan pusat. Misalnya, wewenang pelaksanaan hulu migas tetap berada di bawah SKK Migas, bukan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) secara penuh.

Dalam kerangka teori hegemoni Antonio Gramsci, kepemimpinan sejati dalam masyarakat tidak sekadar hadir melalui dominasi politik, tetapi melalui konsensus dan kepemimpinan moral-intelektual. Sayangnya, kekuatan politik pasca-konflik di Aceh masih beroperasi dalam logika ritualistik—mengagungkan simbol dan narasi masa lalu tanpa memperkuat kapasitas teknokratik dan visi masa depan.

Hegemoni yang dibangun menjadi rapuh karena minimnya regenerasi pemimpin. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2022 menempatkan Aceh sebagai salah satu provinsi dengan nilai terendah dalam dimensi “representasi politik yang inklusif,” khususnya keterlibatan kaum muda dan perempuan.

Pemilu 2024 memperlihatkan sinyal yang semakin jelas. Data dari KPU Aceh menunjukkan penurunan drastis perolehan suara partai lokal yang didirikan oleh eks kombatan GAM. Misalnya, kekuatan politik utama pasca-konflik hanya berhasil memperoleh kursi di bawah 40% dari total DPR Aceh, turun tajam dari posisi mayoritas mutlak pada 2009.

Generasi muda Aceh mulai menunjukkan sikap kritis terhadap warisan politik lama. Survei LSI Network (2023) menunjukkan bahwa hanya 27% pemilih muda Aceh yang merasa kekuatan politik lokal tersebut masih relevan. Isu-isu seperti pengangguran (tingkat pengangguran terbuka Aceh mencapai 9,4%—tertinggi nasional menurut BPS 2024), ketimpangan pendidikan, dan korupsi lokal menjadi kekhawatiran utama.

Untuk tetap relevan, kekuatan politik lokal pasca-konflik Aceh memerlukan reorientasi ideologis dan struktur internal. Dibutuhkan transformasi dari gerakan berbasis karisma menjadi institusi yang berpihak pada policy-based politics. Mengacu pada teori Good Governance oleh UNDP, setidaknya ada tiga pilar yang harus diperkuat: participation, accountability, dan transparency.

Lebih dari itu, mereka perlu membuka kanal dialog yang luas dengan elemen masyarakat sipil, kampus, dan generasi muda. Aceh membutuhkan narasi baru, yang tidak hanya berkutat pada masa lalu, tetapi menjawab tantangan abad ke-21: digitalisasi, green economy, tata kelola berbasis data, dan integrasi dengan ekonomi regional Asia Tenggara.

Hasan Tiro pernah menginginkan Aceh menjadi bangsa yang “bermartabat dan setara.” Kini, cita-cita itu hanya bisa diwujudkan jika kekuatan politik yang lahir dari perjuangannya mampu melampaui simbolisme dan menghadirkan keadilan substantif. Jika tidak, sebagaimana dikatakan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel, “apa yang gagal berdamai dengan kenyataan, akan tersingkir oleh sejarah.”

Aceh tidak butuh nostalgia. Aceh butuh arah baru.

Penulis adalah Alumnus Ilmu Politik UIN Ar-Raniry

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.