*Oleh: Munazar
Parkir merupakan salah satu elemen penting dalam sistem transportasi perkotaan. Di kota-kota besar, termasuk Banda Aceh, pengelolaan parkir yang efektif bukan hanya berfungsi untuk mengatur kendaraan, tetapi juga menjadi cerminan dari kualitas tata kelola kota secara keseluruhan. Sayangnya, di Banda Aceh, pengelolaan parkir masih menyisakan banyak persoalan yang berdampak negatif terhadap ketertiban lalu lintas, kenyamanan publik, hingga potensi pendapatan asli daerah (PAD). Tulisan ini akan mengulas berbagai keburukan dalam sistem pengelolaan parkir di Banda Aceh serta implikasinya terhadap masyarakat kota.
1. Kurangnya Regulasi dan Pengawasan yang Ketat
Salah satu masalah paling mendasar dalam pengelolaan parkir di Banda Aceh adalah lemahnya regulasi serta pengawasan. Meski pemerintah kota telah mengeluarkan peraturan mengenai retribusi parkir dan zona-zona tertentu, dalam pelaksanaannya aturan tersebut seringkali diabaikan. Banyak tukang parkir liar yang beroperasi tanpa izin resmi, dan mereka memungut tarif semaunya tanpa memberikan karcis. Hal ini menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan dari dinas perhubungan maupun aparat keamanan.
Minimnya penertiban membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem parkir resmi. Banyak warga merasa dipaksa membayar parkir tanpa kejelasan legalitas dan tanpa jaminan keamanan terhadap kendaraan mereka. Seharusnya, pemerintah daerah mampu menindak tegas oknum-oknum yang menjalankan parkir liar atau tidak sesuai ketentuan, serta menerapkan sistem yang transparan dan akuntabel.
2. Pungutan Liar dan Parkir Ilegal
Pungutan liar atau parkir liar menjadi fenomena yang marak terjadi di berbagai titik strategis Kota Banda Aceh, seperti di sekitar pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan kawasan wisata. Petugas parkir yang tidak resmi sering muncul dan langsung meminta uang kepada pengendara, bahkan sebelum kendaraan benar-benar diparkir. Tanpa karcis, tanpa tarif yang jelas, dan tanpa tanggung jawab atas keamanan kendaraan, pungutan ini tidak lebih dari bentuk pemalakan terselubung.
Fenomena ini diperparah oleh keberadaan “preman parkir” yang bekerja di bawah kendali kelompok tertentu. Keberadaan mereka sering meresahkan, namun karena kurangnya pengawasan dan ketegasan dari pihak berwenang, praktik ini terus berlangsung. Selain merugikan masyarakat secara ekonomi, ini juga mencoreng citra Banda Aceh sebagai kota yang religius dan berbudaya.
3. Pengelolaan yang Tidak Profesional
Salah satu indikator penting dari buruknya pengelolaan parkir di Banda Aceh adalah tidak adanya sistem yang modern dan profesional. Di era digital saat ini, banyak kota di Indonesia bahkan dunia sudah menerapkan sistem parkir elektronik seperti e-parking atau smart parking, yang memungkinkan masyarakat membayar secara digital, mengetahui ketersediaan lahan parkir secara real-time, dan mendapatkan layanan yang efisien.
Sebaliknya, Banda Aceh masih mengandalkan sistem manual yang rawan manipulasi dan kebocoran pendapatan. Petugas parkir jarang menggunakan sistem karcis resmi, dan tidak ada rekam data yang akurat mengenai jumlah kendaraan yang parkir maupun jumlah retribusi yang terkumpul. Ini membuka celah besar bagi terjadinya korupsi atau penggelapan.
4. Kehilangan Potensi Pendapatan Asli Daerah
Buruknya pengelolaan parkir juga berdampak langsung terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Berdasarkan beberapa laporan, potensi retribusi parkir di Banda Aceh seharusnya bisa mencapai miliaran rupiah per tahun. Namun, karena banyaknya kebocoran, manipulasi data, serta maraknya praktik parkir liar, pendapatan yang masuk ke kas daerah jauh dari harapan.
Seharusnya, jika sistem parkir dikelola secara baik, modern, dan profesional, hasilnya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan fasilitas umum, serta pelayanan sosial. Namun yang terjadi sekarang adalah dana tersebut ‘mandek’ di tengah jalan, masuk ke kantong oknum tertentu, sementara masyarakat tetap menanggung beban ketidakefisienan.
5. Menambah Kemacetan dan Kekacauan Lalu Lintas
Salah satu dampak nyata dari pengelolaan parkir yang buruk adalah meningkatnya kemacetan di sejumlah ruas jalan utama. Di Banda Aceh, banyak lokasi parkir yang tidak tertata dengan baik bahkan memakan badan jalan. Akibatnya, arus lalu lintas menjadi terhambat, terutama di jam-jam sibuk. Di beberapa titik, kendaraan sering kali diparkir sembarangan karena kurangnya rambu dan ketegasan petugas.
Ironisnya, beberapa petugas parkir justru membiarkan atau bahkan mengarahkan kendaraan untuk parkir di lokasi yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Ini menunjukkan betapa tidak adanya koordinasi antara petugas lapangan dengan dinas perhubungan atau Satpol PP.
6. Tidak Ramah bagi Pejalan Kaki dan Disabilitas
Buruknya tata kelola parkir juga menyebabkan gangguan bagi pejalan kaki, terutama di trotoar dan jalur pedestrian. Banyak kendaraan roda dua maupun roda empat yang parkir di atas trotoar, menghalangi akses bagi pejalan kaki. Ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tapi juga membahayakan keselamatan pengguna jalan yang terpaksa harus turun ke jalan raya.
Bagi penyandang disabilitas, situasi ini bahkan lebih buruk. Hampir tidak ada lahan parkir khusus bagi difabel, dan petugas pun tidak terlatih untuk melayani kebutuhan khusus. Ketidakteraturan ini menunjukkan bahwa sistem parkir di Banda Aceh belum inklusif dan tidak mendukung mobilitas semua warga kota.
7. Minimnya Edukasi dan Sosialisasi kepada Masyarakat
Pemerintah kota juga terlihat minim dalam melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai aturan parkir, tarif resmi, serta hak dan kewajiban masyarakat sebagai pengguna lahan parkir. Masyarakat sering kali tidak tahu apakah lokasi parkir itu legal atau tidak, berapa tarif yang wajar, dan bagaimana cara melaporkan pelanggaran.
Padahal, keterlibatan aktif masyarakat sangat penting dalam membangun sistem transportasi yang tertib. Pemerintah seharusnya menyediakan kanal aduan, papan informasi, hingga kampanye publik yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi warga.
8. Solusi yang Tidak Terencana dan Bersifat Tambal Sulam
Setiap kali muncul keluhan masyarakat tentang parkir, solusi yang diambil oleh pemerintah kota sering bersifat reaktif dan tambal sulam. Misalnya, hanya melakukan razia sesaat tanpa perbaikan sistemik, atau mengganti petugas parkir tanpa pelatihan ulang. Ini menunjukkan tidak adanya visi jangka panjang dalam membenahi sistem perparkiran.
Sebuah kota seharusnya memiliki masterplan transportasi yang terintegrasi, di mana sistem parkir menjadi salah satu komponen penting. Tanpa perencanaan yang matang, masalah akan terus berulang dan warga akan tetap menjadi korban.
9. Dampak Terhadap Pariwisata dan Citra Kota
Sebagai ibu kota provinsi dan salah satu destinasi wisata di Aceh, Banda Aceh seharusnya memiliki sistem transportasi yang ramah wisatawan. Namun kenyataannya, banyak pengunjung luar kota yang mengeluhkan buruknya sistem parkir, mulai dari kebingungan mencari lahan parkir hingga menjadi korban pungutan liar. Ini tentu mencoreng wajah Banda Aceh sebagai kota wisata religi dan sejarah.
Citra kota yang tertib dan modern bisa tercermin dari sistem transportasi publik dan parkir yang baik. Jika hal-hal mendasar seperti parkir saja tidak dikelola dengan benar, maka kepercayaan publik terhadap profesionalisme pemerintahan pun akan menurun.
Kesimpulan
Pengelolaan parkir di Banda Aceh saat ini mencerminkan lemahnya tata kelola kota dalam aspek yang sangat fundamental. Pungutan liar, tidak adanya sistem profesional, ketidakteraturan lokasi parkir, hingga kehilangan potensi pendapatan daerah adalah bukti nyata dari keburukan sistem ini. Pemerintah kota harus segera melakukan evaluasi menyeluruh, mereformasi kebijakan perparkiran, dan menerapkan sistem digital yang transparan serta akuntabel.
Lebih jauh lagi, perbaikan pengelolaan parkir bukan hanya tentang tata kelola kendaraan, tetapi juga soal keadilan sosial, pelayanan publik, serta wajah kota di mata dunia luar. Sudah saatnya Banda Aceh bergerak ke arah kota yang modern, tertib, dan ramah bagi semua penghuninya, dimulai dari hal yang tampak sepele: parkir.