TERBARU

Opini

Guru dan Gratifikasi di Aceh: Menakar Etika, Budaya, dan Hukum secara Proporsional

*Oleh: Muhammad Zaldi

Wacana tentang gratifikasi kembali mengemuka dalam diskursus publik nasional, kali ini menyasar profesi yang selama ini dipandang penuh penghormatan: guru. Beberapa pejabat negara mengingatkan bahwa guru, sebagai aparatur sipil negara (ASN), tidak diperkenankan menerima hadiah dalam bentuk apa pun dari murid atau wali murid karena dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang melanggar hukum. Meskipun peringatan ini lahir dari semangat pemberantasan korupsi yang patut diapresiasi, pendekatan yang terlalu legalistik tanpa mempertimbangkan dimensi sosiokultural dan etik justru berpotensi menggerus nilai-nilai luhur dalam dunia pendidikan—khususnya di Aceh, di mana relasi antara guru dan masyarakat bersifat sangat kultural dan sakral.

Guru dalam Konteks Sosial Aceh: Bukan Sekadar Profesi

Di Aceh, guru bukan hanya pengajar di ruang kelas. Ia adalah sosok yang seringkali juga menjadi teungku, tokoh masyarakat, penasihat adat, hingga panutan moral dalam komunitas. Dalam masyarakat gampong, guru tidak sekadar mentransmisikan pengetahuan formal, tetapi juga menjadi simbol kebijaksanaan dan penjaga nilai-nilai. Karena itu, penghormatan kepada guru dalam bentuk pemberian hadiah bukan sekadar tradisi, melainkan ekspresi relasi sosial yang mendalam. Pemberian seperti itu lebih dekat dengan bentuk penghormatan simbolik, yang tidak bermaksud mempengaruhi objektivitas guru dalam menjalankan tugasnya.

Membaca ulang konteks lokal ini sangat penting agar kita tidak terjebak dalam pendekatan tunggal terhadap hukum. Sosiolog Emile Durkheim menyebut bahwa masyarakat tradisional terikat oleh solidaritas mekanik, di mana norma-norma kolektif menjadi kekuatan utama dalam menjaga keteraturan. Dalam kerangka ini, tindakan seperti memberikan hadiah kepada guru bukanlah bentuk relasi transaksional, melainkan penguatan struktur sosial dan nilai bersama. Jika pendekatan hukum mengabaikan dimensi ini, maka yang lahir adalah ketegangan antara legalitas dan legitimasi sosial.

BACA JUGA
5.000 Data Kasus Pelanggaran HAM di Aceh Diserahkan ke Pemerintah Pusat

Antara Hukum dan Etika: Memahami Gratifikasi Secara Kritis

Dalam sistem hukum Indonesia, khususnya melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam bentuk apa pun kepada pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun, perlu diingat bahwa undang-undang ini tidak bersifat absolut. Ia mengakui bahwa tidak semua bentuk pemberian dapat dianggap gratifikasi yang bersifat koruptif, terutama jika pemberian tersebut tidak mempengaruhi kinerja dan tidak terkait langsung dengan pengambilan keputusan.

Dalam teori moral Kantian, tindakan manusia hanya bermoral jika didasarkan pada kewajiban (duty) dan bukan atas dasar keuntungan. Namun, pemberian hadiah kepada guru oleh murid bukanlah bentuk untuk membeli moralitas guru, melainkan wujud dari imperatif praktis yang mendasarkan tindakan pada prinsip penghargaan terhadap martabat orang lain. Maka, dari perspektif Kant sekalipun, selama hadiah itu tidak ditujukan untuk memanipulasi keputusan guru, tindakan tersebut masih berada dalam ranah etika.

Dalam Islam, pembedaan antara hadiah dan risywah (suap) sangat jelas. Nabi Muhammad SAW sendiri menerima hadiah dari para sahabat, namun menolak suap karena mengandung motif manipulatif. Dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Imam al-Mawardi menyatakan bahwa suap adalah pemberian yang disertai permintaan yang merusak keadilan. Sedangkan hadiah adalah bentuk penghormatan yang lahir dari keikhlasan. Maka, melabeli seluruh bentuk pemberian kepada guru sebagai gratifikasi berbahaya karena menyederhanakan spektrum etika Islam itu sendiri.

Gratifikasi atau Apresiasi? Menimbang Niat, Konteks, dan Skala

Pertanyaan kuncinya bukan terletak pada “apa yang diberikan,” melainkan “apa maksud dan dampaknya.” Sebuah cendera mata kecil saat perpisahan sekolah, kue lebaran yang dikirim ke rumah guru, atau kain sarung saat Hari Guru—apakah itu pantas disamakan dengan bentuk gratifikasi yang bersifat suap? Bukankah justru pemberian-pemberian itu menjadi simbol peradaban yang menunjukkan bahwa masyarakat Aceh masih memiliki tradisi menghormati ilmu dan pengajarnya?

BACA JUGA
Disbudpar Aceh Segera Luncurkan Kalender Event 2023, Dimeriahkan Kenduri Kuah Beulangong

Sosiolog Max Weber mengingatkan bahwa birokrasi modern yang terlalu rasional bisa melahirkan “kandang besi” (iron cage)—sebuah situasi di mana kehidupan sosial kehilangan kehangatan emosional karena segala hal dipaksa masuk dalam kerangka aturan rasional. Jika semua bentuk relasi guru-murid diawasi dengan kecurigaan legalistik, kita sedang menciptakan iklim pendidikan yang kering secara moral dan emosional. Padahal, pendidikan bukan sekadar soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter yang dilandasi oleh kepercayaan dan kasih sayang.

Aceh: Wilayah Syariat dan Kearifan Lokal

Sebagai wilayah yang menjalankan kekhususan dalam bidang agama dan adat, Aceh seharusnya memiliki kebijakan yang tidak hanya mengacu pada hukum nasional, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai lokal. Dalam qanun-qanun yang mengatur pendidikan, penghormatan terhadap guru menjadi nilai yang dijunjung tinggi. Maka, menyamakan pemberian simbolik kepada guru dengan gratifikasi, tanpa membedakan motif dan skalanya, justru bertentangan dengan semangat pelestarian nilai lokal tersebut.

Aceh juga memiliki warisan pemikiran ulama seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani yang menekankan pentingnya keseimbangan antara hukum dan makna batiniah (esoterik). Dalam konteks ini, tindakan simbolik seperti memberi hadiah kepada guru bisa dibaca sebagai ekspresi batiniah yang memiliki makna spiritual dan sosial yang dalam. Kita seharusnya membaca tindakan tersebut tidak hanya secara zahir (luar), tetapi juga secara batin (niat dan konteks).

Membentuk Regulasi yang Adil dan Kontekstual

Negara perlu menyiapkan pedoman antigratifikasi yang lebih cermat dan kontekstual, yang membedakan antara:

  1. Hadiah berskala kecil dan simbolik yang diberikan dalam momen-momen tertentu tanpa motif manipulasi,
  2. Pemberian yang disertai dengan permintaan perlakuan khusus, seperti pengaruh terhadap nilai atau kelulusan, dan
  3. Pemberian yang bersifat sistemik dan menyimpang, seperti “uang pelicin” yang diberikan untuk memuluskan prosedur tertentu.
BACA JUGA
Tingkatkan Kedermawan di Bulan Ramadhan

Jika ketiganya dipukul rata, maka kita sedang menciptakan ketidakadilan baru yang merugikan profesi guru dan merusak struktur sosial yang selama ini telah berjalan harmonis.

Saatnya Bijak, Bukan Curiga

Pemberantasan korupsi adalah keharusan moral dan politik. Namun dalam pelaksanaannya, kita membutuhkan kebijakan yang tidak membunuh nilai sosial dan kebajikan. Kita tidak bisa menjadikan guru sebagai objek kecurigaan atas nama hukum, sementara bentuk-bentuk gratifikasi yang nyata di tempat lain luput dari perhatian.

Aceh harus menjadi contoh bagaimana hukum, budaya, dan agama bisa berdialog secara sehat. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai teungku, sudah semestinya bentuk penghargaan terhadap guru ditempatkan secara proporsional, bukan sebagai sesuatu yang otomatis dianggap menyimpang.

Karena jika kita gagal menghargai guru, jangan pernah berharap akan lahir generasi yang menghargai ilmu, keadilan, dan kemanusiaan.

Penulis adalah Alumnus Ilmu Politik UIN Ar-Raniry/Sekretaris Badan Komunikasi Strategis Demokrat Aceh

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.
Enable Notifications OK No thanks