TERBARU

Opini

Dilema Direktur Bank Aceh Terhadap Ekonomi Tanah Rencong

*Oleh: Dr. Taufiq Abdul Rahim

Permasalahan yang menimpa Bank Aceh Syariah (BAS) semakin serius, bukanlah sekadar soal kekosongan kursi Direktur Utama atau persoalan administratif biasa. Ini adalah persoalan yang jauh lebih dalam, menyentuh urat nadi sistem perekonomian Aceh dan menggambarkan kondisi makroekonomi daerah yang sedang berada dalam titik kritis.

BAS, sebagai bank daerah yang dikelola secara syariah, seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah, memperkuat peredaran uang rakyat (velocity of money), serta menjadi medium yang memperkuat sistem fiskal dan moneter Aceh. Namun yang terjadi justru sebaliknya: BAS kini menjadi sumber kegaduhan, ketidakpercayaan, dan simbol dari ketimpangan serta lemahnya tata kelola keuangan publik di provinsi yang kaya akan sejarah dan sumber daya ini.

Dalam ilmu ekonomi, uang dikenal sebagai “darah” dalam tubuh perekonomian. Ia mengalir, menyalurkan energi produktif, menghidupi sektor-sektor riil, dan menciptakan pertumbuhan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bank Aceh Syariah, sebagai institusi keuangan yang memegang kendali atas triliunan rupiah dana publik, bertanggung jawab besar atas kesehatan ekonomi di Tanah Rencong. Dana-dana tersebut berasal dari APBA, dana proyek pengadaan barang dan jasa, belanja infrastruktur, hingga gaji pegawai negeri sipil (PNS) yang wajib disalurkan melalui rekening BAS.

Namun, di tengah beban tanggung jawab tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa peran BAS belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap pemerataan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi Aceh. Sementara perekonomian Aceh stagnan, angka pengangguran masih tinggi, dan kemiskinan menjadi masalah struktural yang tak kunjung terselesaikan, BAS justru terlihat lebih sibuk mengurus stabilitas internalnya yang terguncang akibat ketidakjelasan kepemimpinan.

Sebagai lembaga keuangan milik Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP), ditambah kehadiran para komisaris dan pengawas syariah, seharusnya BAS dikelola secara kolektif, profesional, dan akuntabel. Namun realitasnya, pengelolaan BAS sangat eksklusif dan menguntungkan kalangan terbatas: elite politik, birokrasi, dan pihak-pihak tertentu dalam manajemen bank. Mereka menerima berbagai benefit berupa gaji, bonus, dan fasilitas lainnya, namun minim kontribusi terhadap perbaikan kondisi ekonomi masyarakat luas.

BACA JUGA
Diiringi Abang Becak, PAN Banda Aceh Daftarkan 30 Bacaleg ke KIP

Kekhawatiran terbesar muncul ketika publik mulai mencurigai adanya rekening-rekening fiktif dan misterius yang tidak diketahui manfaat dan pemilik sejatinya, hanya diketahui oleh manajemen bank dan Allah SWT. Hal ini tentu saja menggerus kepercayaan rakyat terhadap sistem keuangan daerah. Dalam konteks keuangan syariah, ini adalah bentuk penyimpangan serius karena bertentangan dengan prinsip keterbukaan, keadilan, dan kemaslahatan umat.

Lebih jauh lagi, dominasi BAS dalam sistem perbankan Aceh mengarah pada situasi monopoli yang tidak sehat. Sebagai satu-satunya bank daerah yang secara eksklusif mengelola sebagian besar dana publik, BAS memiliki posisi yang terlalu kuat. Namun kekuatan ini tidak diimbangi dengan tanggung jawab sosial yang sepadan. Layanan perbankan yang terkesan “hanya untuk kalangan sendiri” menutup akses masyarakat luas terhadap peluang pembiayaan usaha mikro, UMKM, atau investasi produktif lainnya. Dampaknya jelas: ketimpangan ekonomi yang semakin melebar dan peluang pembangunan yang terhambat.

Salah satu sumber utama persoalan yang mencuat adalah kekosongan posisi Direktur Utama BAS yang tak kunjung ditetapkan secara definitif. Kekosongan ini menyebabkan stagnasi manajemen dan kebingungan dalam pengambilan keputusan strategis. Lebih dari itu, hal ini memperlihatkan betapa lemahnya kemauan politik dan kebijakan birokrasi dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Dalam kondisi seperti ini, publik tentu bertanya: mengapa posisi penting seperti Direktur Utama bank yang memegang kendali atas uang rakyat bisa dibiarkan kosong begitu lama? Apakah ini bagian dari skenario politik untuk menjaga kendali segelintir elite terhadap arus uang di Aceh? Ataukah memang ada kelemahan sistemik dalam tata kelola keuangan daerah yang selama ini tidak pernah dibenahi?

Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti: kelambanan dalam menyelesaikan krisis kepemimpinan di BAS telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang luas. Investor enggan masuk, proyek pembangunan terhambat, dan kepercayaan publik terus menurun. Lebih buruk lagi, situasi ini memperkuat posisi elite tertentu yang menikmati keuntungan dari status quo, sementara rakyat Aceh semakin terpinggirkan dari manfaat ekonomi yang seharusnya mereka nikmati.

BACA JUGA
Jargon "Menuju Aceh Selatan Produktif" Ala Haji Mirwan untuk Perekonomian Berkelanjutan

Secara makroekonomi, Aceh sedang menghadapi berbagai tantangan serius. Tingkat kemiskinan masih tinggi dibandingkan provinsi lain di Sumatera. Pengangguran terbuka menjadi masalah tahunan yang tidak kunjung terselesaikan. Sementara itu, inflasi dan kenaikan harga barang mempersempit daya beli masyarakat. Di sisi lain, triliunan uang yang tersimpan di BAS hanya berputar di lingkaran tertutup elite penguasa dan birokrasi.

Dalam situasi demikian, seharusnya BAS berperan sebagai katalis pembangunan dan pemerataan ekonomi. Dana publik yang besar seharusnya diputar dalam bentuk pembiayaan usaha rakyat, penguatan UMKM, atau proyek infrastruktur berkelanjutan. Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya: uang tersebut menjadi “idle money” yang hanya menguntungkan kelompok kecil dan tidak memberikan multiplier effect terhadap ekonomi lokal.

Kritik juga patut dilayangkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), dua institusi negara yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengawasi serta membina perbankan nasional dan daerah. Jika mereka memahami betapa strategisnya peran BAS dalam ekonomi Aceh, seharusnya mereka tidak tinggal diam melihat drama berkepanjangan ini terus berlangsung. Ketiadaan tindakan konkret dari OJK dan BI justru memperkuat kesan bahwa persoalan ini dibiarkan mengambang.

Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, memang benar bahwa pengelolaan bank daerah menjadi tanggung jawab lokal. Namun ketika hal ini berdampak pada kepercayaan publik, kestabilan ekonomi daerah, dan potensi kerugian besar terhadap dana publik, maka keterlibatan pusat sangat diperlukan. Pemerintah pusat, melalui OJK dan BI, harus turun tangan secara aktif dan mengambil langkah korektif.

Langkah paling mendesak saat ini adalah menetapkan secara definitif kepemimpinan BAS, mulai dari Direktur Utama hingga jajaran direktur lainnya. Pemilihan figur yang tepat, profesional, dan bebas dari konflik kepentingan harus diutamakan. Mereka yang akan mengisi posisi strategis di BAS harus memiliki integritas, pemahaman mendalam tentang ekonomi syariah, dan visi kuat untuk memajukan ekonomi Aceh secara inklusif.

BACA JUGA
Tiba di Polda Aceh, Penyidik Langsung Periksa Abu Laot

Selain itu, reformasi manajemen dan struktur organisasi BAS juga menjadi kebutuhan mendesak. Sistem pengawasan harus diperkuat, mekanisme transparansi harus dibuka kepada publik, dan laporan keuangan serta kebijakan investasi bank harus bisa diakses secara berkala oleh masyarakat. Langkah-langkah ini bukan sekadar kosmetik, tetapi strategi jangka panjang untuk membangun kembali kepercayaan publik yang telah lama terkikis.

Lebih jauh lagi, Pemerintah Aceh perlu mengarahkan kebijakan fiskal dan moneter daerah secara lebih produktif. Dana publik yang disalurkan melalui BAS harus didistribusikan ke sektor-sektor yang memiliki dampak ekonomi langsung kepada masyarakat luas, seperti pertanian, kelautan, industri kreatif, dan infrastruktur pedesaan. Dengan cara ini, keberadaan BAS dapat benar-benar menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi dan bukan sekadar institusi simbolik yang dikuasai oleh elite.

Waktu terus berjalan, dan setiap hari yang dilalui tanpa penyelesaian terhadap permasalahan BAS berarti memperdalam jurang ketimpangan ekonomi Aceh. Jika situasi ini terus dibiarkan, maka rakyat Aceh akan semakin jauh dari harapan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Maka, sudah saatnya seluruh pemangku kepentingan—baik pemerintah daerah, pusat, manajemen BAS, hingga lembaga pengawas seperti OJK dan BI—bersikap dewasa, bertanggung jawab, dan berpihak pada rakyat.

Drama berkepanjangan ini harus segera diakhiri. BAS bukan milik segelintir elite. BAS adalah milik rakyat Aceh. Maka sudah sepatutnya seluruh kebijakannya berpihak pada rakyat, dan bukan menjadi panggung bagi kepentingan politik sesaat.

Penulis aalah Pengamat Politik dan Ekonomi, yang juga Akademisi Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.