ORINEWS.id – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur, Abdul Muthalib, S.T mendesak pemerintah agar segera mengambil sikap tegas dalam menyikapi konflik antara masyarakat adat dan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sejumlah wilayah di Aceh Timur.
Ia menilai pemerintah terlalu lama bungkam terhadap nasib desa-desa adat yang hingga kini belum mendapat pengakuan administratif meskipun telah puluhan tahun dihuni.
“Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan kelompok tertentu. Hingga kini, status desa adat masih belum jelas,” ujar Abdul saat ditemui di Aceh Timur, Selasa (6/5/2025).
Politikus Muda Partai Demokrat itu menyebutkan banyak desa adat yang memiliki akar historis dan kultural yang kuat justru terpinggirkan akibat tumpang tindih klaim lahan dengan sejumlah perusahaan perkebunan besar.
“Ini menyangkut hak hidup dan identitas masyarakat adat. Desa-desa itu bukan muncul kemarin sore. Mereka sudah ada jauh sebelum perusahaan membawa klaim,” tegasnya.
Sejumlah desa yang disebut masih berstatus sengketa antara lain Gampong Jambo Rehat dan Seunebok Bayu di Kecamatan Banda Alam; Seunebok Buya dan Alue Lhok di Kecamatan Idi Tunong; Lhok Lemak di Kecamatan Darul Ihsan; Seunebok Kuyun di Kecamatan Idi Timur; serta Alue Le Udep dan Semenah Jaya di Kecamatan Rantau Peureulak.
Adapun perusahaan yang disebut berada dalam sengketa dengan warga mencakup PT Angkasana Kompeni, PT Bratamaju di kawasan Teupin Raya, dan PT Patria Kamou yang berkonflik dengan Gampong Gajah Mentah di Kecamatan Sungai Raya.
Wakil Ketua Komisi III DPRK Aceh Timur itu menyesalkan bahwa lahan-lahan yang dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat justru dianggap sebagai “tanah kosong” oleh pihak perusahaan dan negara. Abdul menilai pengabaian ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural terhadap komunitas adat.
“Seharusnya HGU hanya diberikan pada lahan yang benar-benar belum berpenghuni, bukan pada tanah yang telah menjadi ruang hidup masyarakat selama generasi,” ujarnya.
Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah untuk segera menetapkan status hukum desa-desa tersebut sebagai entitas yang sah dan otonom di luar konsesi perusahaan.
“Negara harus hadir. Ini bukan hanya persoalan tanah, tetapi juga soal keadilan, sejarah, dan identitas kultural masyarakat. Ini menyangkut harga diri masyarakat adat yang selama ini merasa diinjak-injak,” tandas Abdul. []