Pendidikan yang Tak Pernah Dimulai: Ketika Teladan Hilang di Balik Layar

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

*Oleh: Awalin Ridha S. Pd

Dunia pendidikan di tengah era digital hari ini menghadapi tantangan serius yang sering kali diabaikan. Sebagian dari orangtua sibuk dengan handphone atau lebih tepatnya, terperangkap dalam dunia digital sementara anak-anak mereka diminta untuk belajar. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kontradiksi, tetapi juga hipokrisi yang merusak upaya pendidikan itu sendiri.

Teknologi telah mengubah cara kita berkomunikasi dan mengakses informasi. Namun, alih-alih menggunakan teknologi untuk memperkuat hubungan dan mendukung pendidikan anak, banyak orangtua justru terjebak dalam candu layar. Setiap hari, waktu berharga yang bisa digunakan untuk berdiskusi atau membaca bersama anak terkikis oleh notifikasi dan scrolling tanpa tujuan. Di saat yang sama, anak-anak diberi tekanan untuk belajar tanpa gangguan, seolah-olah tanggung jawab mereka adalah menjaga “kemurnian” pendidikan yang tidak mampu dijaga oleh orangtua mereka sendiri.

Konsep “technoference,” yang mengacu pada gangguan teknologi dalam interaksi orangtua-anak, telah menjadi fokus penelitian beberapa pakar, termasuk Brandon T. McDaniel dan Jenny S. Radesky yang menunjukkan bahwa anak-anak yang merasa diabaikan oleh orangtuanya karena sibuk dengan ponsel dapat mengalami gangguan dalam perkembangan emosional mereka. Anak-anak ini kehilangan momen penting untuk belajar mengenali dan mengekspresikan emosi melalui interaksi langsung dengan orangtua, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hubungan emosional dan perilaku mereka.

Tidak hanya itu, penggunaan smartphone oleh orangtua juga dapat mengurangi responsivitas dan sensitivitas mereka terhadap anak. Akibatnya, perkembangan bahasa dan interaksi sosial anak dapat terhambat. Anak-anak memerlukan perhatian dan komunikasi aktif dari orangtua untuk mengembangkan kemampuan berbicara dan memahami interaksi sosial. Ketika perhatian ini terganggu oleh layar, proses belajar alami mereka terganggu.

Selain itu, penggunaan ponsel yang berlebihan dapat berdampak pada kualitas tidur, kesehatan mental, dan keseimbangan psikologis orangtua, yang pada akhirnya memengaruhi pola asuh mereka. Orangtua yang kelelahan atau mengalami tekanan emosional cenderung kurang mampu memberikan perhatian penuh kepada anak, sehingga hubungan emosional dan pola pengasuhan menjadi terganggu.

Ini bukan sekadar persoalan penggunaan teknologi, melainkan sebuah kegagalan teladan. Anak-anak adalah cerminan perilaku orang dewasa di sekitarnya. Ketika mereka diminta mencintai buku, tetapi melihat orangtua mereka terus-menerus terpaku pada gadget, apa yang sebenarnya kita ajarkan kepada mereka? Apakah kita berharap mereka hanya mendengar kata-kata kita, tanpa mempertanyakan tindakan yang mereka saksikan setiap hari?

Lebih dari itu, kontradiksi ini menciptakan generasi yang bingung dan kehilangan arah. Anak-anak tidak hanya merasa tertekan oleh tuntutan untuk menjauhi teknologi, tetapi juga merasa tidak dimengerti. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami pentingnya belajar, jika figur panutan mereka sendiri tidak pernah menunjukkan kecintaan terhadap aktivitas tersebut?

Yang lebih menyedihkan, banyak orangtua yang tidak menyadari dampak jangka panjang dari pola asuh seperti ini. Ketidakkonsistenan antara apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan tidak hanya merusak kredibilitas mereka di mata anak-anak, tetapi juga menghancurkan kepercayaan yang menjadi fondasi hubungan keluarga.

Saatnya kita berhenti memberikan alasan. Orangtua harus mulai mengambil tanggung jawab penuh atas perannya sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Lebih penting lagi, orangtua harus konsisten. Jangan hanya menuntut anak untuk belajar, sementara diri sendiri tidak memberikan teladan. Pendidikan sejati dimulai dari rumah, dan setiap tindakan orangtua memiliki dampak besar pada cara anak-anak memandang dunia. Jika teknologi ingin digunakan, maka gunakanlah untuk mendukung pembelajaran, bukan sekadar hiburan tanpa arah.

Kontradiksi ini bukan sesuatu yang tidak bisa diperbaiki. Tetapi perbaikan hanya mungkin terjadi jika kita, sebagai orang dewasa, mau mengakui kesalahan dan berubah. Pendidikan bukan soal “anak bersama buku” atau “orangtua bersama gadget,” melainkan “keluarga bersama belajar.” Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?

Penulis adalah Ketua DEPDIK WI Aceh